Friday, May 20, 2011

Kasus proyek Pompa hydrant di Petabeang Kecamatan Malunda Majene

Pada tahun 2009, Dinas pertanian, Kehutanan dan perkebunan Kab. Majene, melaksanakan proyek Pompa Hydrant di Petabeang Kec. Malunda  Kab. Majene-Sulawesi Barat, melalui dana APBN senilai 4 milyar rupiah.
Proyek ini akan mengairi persawahan di kec. Malunda seluas kurang lebih 400 Ha. namun hingga kini proyek ini tidak pernah berfungsi, dan hampir 2 tahun ini dibiarkan bagaikan sampah, tanpa usaha untuk meneruskan penyelesaian proyek.
Penjelasan pihak proyek kepada MATRAMAN, bahwa pada tahun ini telah dianggarkan lagi sebanyak 200 juta untuk pembuatan pipa pembuangan sepanjang kurang lebih 800 meter. Saluran pembuangan ini akan menggunakan pipa PVC diameter 12 inchi, namun yang menjadi pertanyaan adalah dana APBN sebesar 4 milyar tersebut, setelah 2 tahun baru akan disempurnakan, dan pertanyaan berikutnya adalah biaya pembuatan saluran pembuangan ini akan menghabiskan dana Rp.250.000,/meternya, atau 200 juta untuk 800 meter.

Setelah negara dirugikan 4 milyar untuk pekerjaan yang tidak bermanfaat, kini APBD Majene akan terbuang percuma sebesar 200 juta.
Pihak berwajib harusnya mengusut penggunaan dana sebesar 4 milyar ini, mulai dari perencanaan dan piohak ketiga pemenang tender ini, apakah mereka mempunyai keahlian dalam hal pembuatan bangunan air, atau proses tendernya yang amburadul hingga memenangkan pihak yang tidak menguasai bidang pekerjaan ini.

Wednesday, January 5, 2011

KEBUN BIBIT RAKYAT (KBR) DI MAJENE

Salah satu program pendukung OBIT (One Billion Indonesian Trees) adalah kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KlBR). Salah tujuan mulia kegiatan ini adalah kelompok tani diharapkan akan mempunyai dana sendiri setelah kegiatan ini berlangsung dan dapat memproduksi secara terus menerus bibit2 kehutanan.
Untuk kegiatan ini setiap kelompok memperoleh dana sebesar 50 juta rupiah untuk memproduksi 50 ribu tanaman.



Dana untuk setiap kelompok ditransfer langsung ke rekening masing2 kelompok. Namun setelah dana dicairkan oleh pengurus kelompok, dana tersebut diserahkan ke oknum di Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Majene. Oknum inilah yang kemudian menentukan berapa yang akan diperoleh masing2 kelompok.
Dari laporan dan investigasi langsung MATRAMAN di beberapa kelompok tani, rata2 hanya menerima dana sebesar 30-50% (15-25 juta)/kelompok. Sisanya sekitar 35-25 juta dibagi di beberapa oknum di Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan kab. Majene.

Seharusnya petani menjadi pemilik mutlak kegiatan ini, merekalah yang menandatangani kontrak dengan Kementerian Kehutanan RI, melalui BP DAS Lariang Mamasa, namun sekali lagi oleh orang2 di Dinas yang mengurusi kegiatan mereka menjadi 'sapi perah" dan menjadi buruh diatas lahan pribadi mereka.

Modis operandi seperti ini terjadi di hampir seluruh kelompok tani di Kab. Majene. Caranya akan kami tulis pada laporan selanjutnya......

Sunday, May 9, 2010

Sang PARAKANG


PARAKANG
Seribu bangkai anjing
Lebih berarti bagiku
Ketimbang mulut busukmu
Yang dulu memohon satu suara
Dan kini menghianati seribu jiwa

Tak penting bagi kami
Siapa pejabat di negeri ini
Sudah bosan kami
Dengan model negeri seperti ini
negeri para PARAKANG

Kami sudah biasa begini
Makan bingung hujan bocor
antri berjam-jam untuk seratus ribu rupiah
lalu kau potret dengan bangga sambil teriak
inilah para hamba sahayaku!!!

kami tidak butuh pidatomu
senyum parakang atau janji-janjimu
sekarung beras dari gudang makananmu
tak bisa menghapus kemelaratan kami


belas kasihan dan derma baju bekasmu
tak bisa menolong kami

kami tak percaya lagi pada kalian semua
partai politik yang hanya sibuk mengurus proyek
kemudian ditelannya bersama busana 2 jutaan

omongan dan kerja hebatmu
tak bisa bikin perut kenyang
karena kalian memang tidak pernah memikirkan kami
semua perbuatan, aturan dan tingkah lakumu
mengawang jauh dari persoalan kami

bubarkan saja dewan gombal ini
kami ingin tidur pulas
dan tidak terganggu dengan klakson mobil
yang kau beli dengan pajak dan keringat kami
dengan air mata anak kami
yang hanya bisa menjilati susu
dari layar kaca televisi tetangga

Kami sudah bosan
Dengan hidup model begini
Tegasnya kami hanya mau bilang
Jangan bikin aturan
Yang membuat para pencuri
Dan para parakang seperti kalian
Menjadi komunitas yang terhormat


Majene, 19 Januari 2007 (menyikapi PP 37)
Aziil anwar (inspired by: TUKUL)



Wednesday, May 5, 2010

Hanya siswa yang jadi korban UN

Assalamualaikum wr.wb.

Pertama-tama perkenankan saya atas nama Komite Sekolah SMP Negeri 1 Sendana, menyampaikan penghargaan kepada Ketua Panitia Pelaksana, Acara Perpisahan ini, beserta seluruh siswa/siswi Kelas III, Para guru, dan Bapak Kepala sekolah yang telah memberikan perhatian dan persiapannya, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik…sekali lagi terima kasih.

Para hadirin sekalian…
Sebagai Ketua Komite SMP Negeri 1 Sendana, izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang saya pikir, perlu saya sampaikan pada kesempatan yang sangat baik ini, khususnya mengenai pelaksanaan UN yang telah dilaksanakan beberapa saat yang lalu.
Pertama, dasar pelaksanaan UN ini, salah satunya untuk mengukur kompetensi sekolah, berbicara  tentang kompetensi sekolah, tentu ada beberapa tolok ukur yang bisa dijadikan dasar keberhasilan satu sekolah; Antara lain sarana dan prasarana sekolah, ketersediaan buku, kemampuan para guru dan daya serap siswa siswi itu sendiri.
Namun UN sebagai penentu tingkat kompetensi sekolah, hanya menelan satu korban, hanya para siswa, tidak ada guru yang dikenakan sanksi atas ketidak berhasilan ini, tidak ada evaluasi menyeluruh tentang kebutuhan buku paket, apa sudah mencukupi atau satu buku paket digunakan oleh 10 hingga 20 orang siswa, sehingga mereka tidak maksimal menyerap pesan dan isi buku, tidak ada evaluasi tentang ketercukupan sarana maupun prasarana sekolah, sekali lagi vonis atas tidak berhasilnya satu sekolah, hanyalah menelan satu korban…hanya para siswa.
Ini sangat tidak adil. Saya sangat tidak percaya jika dalam satu sekolah, kalau bisa saya mengambil contoh 6 Madrasah aliyah di kabupaten Majene, tak satupun siswa yang lulus UN tahun ini, tak seorangpun, saya tidak percaya kalau semua murid yang ada di sekolah itu bodoh, tentu ada yang salah dalam sistim pendidikan kita. 

Kedua, kenapa Ujian Nasional ini dilaksanakan; senang tidak senang, suka tidak suka, ini adalah bentuk ketidak percayaan pusat kepada kita. Dan jika bicara tentang ketidak-percayaan, kita dapat melihat fenomena belakangan ini. Seorang anak yang ingin menyelesaikan Sekolah Dasarnya harus mengikuti ujian, ya dia harus di tes, nah pada saat mau masuk ke SMP dia juga harus di tes, apa yang mau saya katakan, pihak SMP tidak percaya hasil ujian sang anak sewaktu tamat SD, buktinya harus di tes. Ingin menyelesaikan sekolahnya di SMP harus di tes, dan masuk ke SMA harus di tes lagi, kenapa…pihak SMA tidak percaya hasil ujian sang anak sewaktu di SMP. Begitu juga setelah di tes pada saat akan selesai di SMA, dan hendak masuk perguruan tinggi, di tes lagi. Jelas pihak Perguruan tinggi tidak percaya hasil ujian di SMA. Parahnya lagi setelah selesai ujian sarjana dan ingin jadi pegawai negeri, harus di tes lagi, dan yang paling parah yang diuji bukan saja kepintaran sang anak, tapi yang terpenting kemampuan ekonomi sang anak, punya uang 40 juta apa tidak.   

Lantaran banyaknya yang tidak lulus jadi PNS, dan bingung menciptakan usaha sendiri, bertambah banyaklah pengangguran. Begitu banyaknya pengangguran sehingga saya menjadi khawatir, jangan-jangan untuk mendapatkan predikat pengangguran mereka juga harus di tes.
Tidak saling percaya di dunia pendidikan memang telah dibangun sejak anak-anak masih di SD. Pertanyaannya siapa yang membangun, siapa yang menciptakan saling tidak percaya ini. Jawabannya: tentunya kita semua, utamanyanya para bapak dan ibu yang bergelut di dunia pendidikan, mulai dari kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat; maaf, ini harus saya katakan, sebagai ketua komite, saya sangat merasakan keresahan para orangtua murid yang melihat sistim pendidikan kita.

Ketiga, kadang saya berpikir, pelaksanaan Ujian Nasional ini hanyalah untuk kepentingan pusat. Ada dua hal besar yang menjadi kepentingan pusat,
Yaitu kepentingan bisnis dan politis. Saya katakan kepentingan bisnis, bapak-ibu bisa lihat, jumlah lembaran soal, biasanya 4 hingga 8 lembar kertas ukuran A3 persoal, untuk tingkat SMP ada empat mata pelajaran dan tingkat SMA ada sekitar 6 mata pelajaran, kalau dihitung-hitung, rata-rata satu orang murid membutuhkan 24 lembar kertas A3.
Bapak dan ibu bisa hitung sendiri, kalau ada satu juta siswa saja yang ikut UN SMP/SMA tahun ini, dan keuntungan satu lembar 100 rupiah saja, maka 1 juta siswa dikali 24 lembar dikali 100 rupiah, angka yang diperoleh cukup fantastis, sekitar 2,4 milyar, itu Cuma keuntungan dari percetakan kertas soal saja. Belum dari anggaran lainnya yang melekat pada proyek UN ini.
Untuk kepentingan politis, bisa saja, di Indonesia tingkat pengangguran dari tahun ketahun semakin meningkat, nah untuk menghambat kenaikan prosentase pengangguran inilah, salah satu caranya dengan menghambat kelulusan siswa, utamanya yang di SMA, kalau mereka lulus, pasti sebagian besar akan menganggur, dengan berbagai alasan tentunya. Orang berfikir, pasti pemerintah berhasil menyiapkan lapangan pekerjaan, padahal…apa…memang hanya yang sedikit yang lulus, sehingga sedikit juga angka pengangguran yang tercipta.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita semua hanyalah korban kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak dan tidak mau tahu kondisi dunia pendidikan di daerah.

Bapak ibu, hadirin yang saya hormati,

Jika ujian nasional dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat kompetensi suatu sekolah, menurut saya oke-oke saja, Ujian Nasional sebaiknya hanya untuk menjadi bahan evaluasi perkembangan pendidikan suatu sekolah, sebagai bahan evaluasi untuk untuk mengukur tingkat kompentensi para guru, menjadi bahan evaluasi tingkat kemampuan manejerial para kepala sekolah, itu boleh saja
Namun bukan untuk menentukan lulus tidaknya seorang murid. Bagaimana bisa, selama tiga tahun seorang siswa menimba ilmu disekolah, nasibnya hanya ditentukan dalam waktu tiga hari saja. Hebatnya lagi, oleh orang, pembuat soal yang tidak kita kenal dan tidak mengenal tingkat kecerdasan, phisologi dan etika sang anak. Dan sama sekali tidak menghargai jerih payah para guru yang membinanya  selama tiga tahun. Anak-anak hanya dijadikan objek dari satu kepentingan, yang sama sekali tidak mereka ketahui. Sungguh kasihan
Seharusnya ujian nasional menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, satu proses dalam belajar mengajar, layaknya ujian harian. Namun apa yang kita saksikan, UN dirancang sedemikian rupa, hingga menjadi suatu hal yang paling menakutkan, bukan saja oleh para murid, bahkan bagi para guru dan orang tua murid. Adanya tim independen, para petugas keamanan dan petinggi-petinggi kabupaten yang berdatangan, sebenarnya bukan untuk kelancaran dan keamanan ujian, tapi adalah bentuk ketidak percayaan kepada para guru dan pengawas ujian itu sendiri, dan mungkin saja hanya untuk kepentingan SPPD.

Bapak camat…dan hadirin sekalian yang saya muliakan
Hampir 5 tahun saya menjadi ketua komite di smp 1 sendana ini, sudah dua kali saya mengajukan usul untuk penggantian, namun sampai saat ini belum ditanggapi, mungkin masih dibutuhkan. Dalam kurun waktu 5 tahun ini, tentunya banyak hal yang bisa saya pelajari dan saya amati disekolah ini, banyak suka dan sedikit dukanya.
Banyak perkembangan di sekolah ini, baik sarana, prasarana, kemampuan para guru yang semakin baik, begitu juga dengan kepemimpinan bapak kepala sekolah yang saya nilai cukup arif dan bijaksana, menanggapi berbagai persoalan; tentu ada saja riak-riak kecil, konflik antar guru maupun antara guru dengan kepala sekolah, namun saya menilainya masih dalam ambang batas kewajaran dan sebagai bentuk dinamika dalam satu organisasi.

Dukanya, terkadang saya menangis dalam hati dan merasa sangat heran jika ada seorang guru menghukum kenakalan seorang siswa atau siswi secara fisik, ada-ada saja alasan pembenarannya, namun hal ini, menurut saya, menunjukkan ketidakmampuan  sang guru itu sendiri atau model guidance dan counceling yang tidak berjalan semestinya, penyebabnya barangkali sistim sanksi sekolah yang belum dijalankan sebagaimana mestinya.
Saya pernah mengajar selama 3 tahun lebih di sekolah ini, walau saya tidak pernah mempelajari dasar-dasar pelajaran menjadi seorang guru, namun saya berpendapat, seorang guru, seharusnya menjadi seorang fasilitator bagi muridnya, penuntun dan pengarah bagi siswa dalam proses belajar mengajar, dan pembentuk budi pekerti sang murid, menjadi seorang sahabat untuk berbagi cerita dan memberi nasehat bagi anak muridnya yang bermasalah atau yang membuat masalah.  Dan selama lebih tiga tahun menjadi guru, tak pernah sedikitpun saya berpikir, bahwa saya bisa menentukan berhasil, tidaknya seorang murid, dan tentunya saya juga berharap para guru lainnya, jangan sampai mempunyai pikiran yang demikian itu.

Saya teringat perkataan seorang filsuf cina, Lao tze, dia berkata:
Datanglah disuatu tempat
Berbaurlah dengan mereka ditempat itu
Berbicaralah dengan mereka
Ajaklah mereka kearah yang lebih baik
Dan jika suatu saat nanti
Mereka menjadi baik
Jangan pernah berpikir
Mereka baik karena kehadiranmu
Mereka menjadi baik
Karena mereka menghendaki kebaikan itu.

Untuk anak-anakku yang lulus nanti, harapan saya, kiranya melanjutkan sekolahnya, jika tidak bisa kesekolah favorit, masih banyak sekolah lain yang mau menerimamu.
Bagi yang belum lulus nanti, harapan saya, bersabarlah dan persiapkan diri kalian untuk ujian ulangan, dan semoga saja berhasil nanti, kami semua mendoakanmu.
Bagi bapak ibu, orang tua murid, harapan saya dapatlah kiranya memberikan motivasi dan dukungan terus menerus kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolahnya, dan saya sangat mengerti, jika bagi sebagian orang tua murid, melanjutkan sekolah sang anak adalah beban yang sangat sulit, tetaplah berusaha demi anak-anak kita.
Dan kepada bapak dan ibu guru, Harapan saya tetaplah terus meningkatkan kompetensi, komitmen, dan dedikasinya serta memberikan yang terbaik untuk perkembangan murid dan sekolah ini. Utamanya yang telah memperoleh sertifikasi guru, karena saya belum melihat upaya kearah itu, maaf.
Harapan saya kepada Bapak Kepala Sekolah, tetaplah arif, bijaksana dan lebih meningkatkan koordinasi, komunikasi dengan para guru lainnya dalam masalah apapun demi kemajuan sekolah ini, yang tidak dalam waktu lama lagi akan bapak tinggalkan.
(nanti sama2 kita tinggalkan)

Hadirin yang saya hormati,
Begitu banyak harapan-harapan yang saya sampaikan pada saat ini, namun saya berharap, harapan-harapan itu tidaklah menjadi suatu beban atau menjadi suatu ketersinggungan, saya berharap harapan-harapan ini akan menjadi motivasi bagi kita semua, pendorong semangat  untuk berbuat lebih baik dan semakin baik bagi sekolah ini, bagi bangsa dan bagi negara tercinta.

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada panitia pelaksana kegiatan ini, kepada bapak dan ibu guru serta bapak kepala sekolah yang telah mempersiapkan acara ini sebaik mungkin, terimakasih juga kepada para undangan, khususnya bapak Camat sendana dan orangtua murid yang telah meluangkan waktu berharganya untuk menghadiri acara ini.
Dan dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf, dan dimaafkan, jika dalam sambutan saya ini, terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati bapak dan ibu sekalian.
Jika ada jarum yang patah,
belilah jarum yang lain
Masih banyak di warung sebelah.

Terima kasih
Fastabiqul khairat
Wassalamualaikum warahmatulahi wabarakatu.

Thursday, April 15, 2010

MITOS SEPUTAR APBD


Betapapun hebatnya pawang hewan membesarkan anak macam; sang pawang menghadapi resiko diterkam macan yang dipeliharanya sendiri, saat anak macan itu tumbuh menjadi besar dan buas. Inilah pengandaian yang paling mengena, untuk menggambarkan alokasi keuangan daerah ini yang telah terlanjur bobrok, melalui kebijakan dan prektek kolusi, korupsi dan nepotisme, yang secara sadar atau tidak telah ikut membesarkan beberapa anak macan penentu kebijakan public.
Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang harus bertanggung jawab ketika “anak macan”,  yang mulai tidak terkendali dan tumbuh menjadi perancang APBD yang merugikan rakyat. Apakah sang macan atau “sang pawang” yang selama ini membesarkannya? Pertanyaan sederhana ini tak mudah dijawab.

Di kalangan masyarakat setidaknya terdapat dua pendapat yang dominan. Pertama, menganggap “sang pawang”, sebagai sumber utama masaalah. Dalam menerapkan kebijakan “sang pawang” dilihat telah keliru memihak, yakni lebih membela kepentingan segelintir golongan dari pada kepentingan rakyat.

Pendapat Kedua, menolak diletakkannya “sang pawang” sebagai sumber utama masalah; musuh yang dianggap paling berbahaya bagi kepentingan rakyat tertuju pada kelompok sang macan, yang dilihat sebagai aktor yang immoral, yang rakus yang menghalalkan segala cara. Meski praktek semacam ini tumbuh tak lepas dari kerjasama dengan oknum pejabat atau birokrat korup.
Jaringan kerja sang macan ini terlihat telah tumbuh sebagai entitas sendiri, yang kadang lepas dari kontrol sang pawang yang notabene adalah pimpinannya dalam mendudukkan sang macan dilembaga sakral ini. Koloborasi antara sang pawang dan sang macan pada APBD, mempopulerkan berbagai mitos yang intinya mengarah kepada pembenaran tindakan kelompok ini (sang pawang dan sang macan).

Mitos pertama : masyarakat telah menyetujui anggaran yang ditetapkan, hal ini dibuktikan dengan telah ditetapkannya APBD itu sendiri melalui persetujuan DPRD.
Memang benar, namun jika proses yang dilakukan hanya sebagai bentuk legalisasi suatu produk regulasi yang kemudian dihianati sendiri oleh sang pawang dan sang macan,  maka makna apa yang bisa dipetik dari kegiatan yang bisa dikatakan hanya formalitas belaka.
Kasak-kusuk menjelang pengesahan APBD sangat intens, setiap penanggung jawab kegiatan mengeluarkan berbagai jurus ampuh, agar proyeknya bisa diakomodir. Disaat seperti inilah wibawa “sang macan” nampak begitu sakral, setiap gerakannya menjadi sangat menarik untuk diterjemahkan. Mulai dari caranya mengerling, mengedipkan mata, mengangkat jempol hingga cara berjabat tangan, menjadi nilai tersendiri bagi para penanggung jawab proyek.
 
Mitos kedua : anggaran yang ditetapkan sangat memihak kepada perkembangan pendidikan di daerah ini, ini terlihat pada anggaran pada sector pendidikan yang mencapai angka 20% dari APBD.
Jika kita menyimak anggaran untuk Dinas P & K, memang benar angka 20% itu, namun jika kita para anjing gila yang kadang bisa menjadi anjing pelacak mengendus lebih teliti, sangatlah banyak hal-hal yang bisa membuat kita semua tertawa malu dengan salah satu kebanggaan sang pawang itu. Coba lihat dana pengadaan computer,  yang satu unitnya 6 jutaan. Komputer dengan spesifikasi lainnya pada komputer tersebut nilai pasarnya saat ini kurang dari 3 juta ditambah printer yang harganya 500 ribu maka nilai per unitnya tidak lebih dri 3,5 jutaan. Lalu selisih harga dikali sekian ratus unit jatuh kemana, ke dunia pendidikan ataukah kebeberapa orang “terdidik”. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah nilai 20% anggaran untuk pendidikan hanya berbicara pada jumlah anggaran ataukah pada nilai fasilitas, nilai manfaat atau nilai jasa.

Begitu pula dengan pelatihan-pelatihan yang diadakan diderah sendiri nilainya puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta per kegiatan; Sangatlah fantastis dan perlu dipertanyakan. Untuk suatu kegiatan pelatihan dengan fasilitas mewah selama 3 hari untuk ukuran daerah ini maka nilai 30 jutaan sangatlah maksimal, ini sudah termasuk fee untuk jasa pelaksanaan sebanyak maksimal 10%. Lalu jika satu kali pelaksanaan pelatihan atau sosialisasi menggunakan dana 100 jutaan, sisanya kemana. Silahkan berkreasi dan mendapat fee dari kegiatan seperti ini, tapi janganlah sampai merampok tanah yang kita cintai ini, yang APBDnya sangat minim
Seberapa jauh kepentingan sang pawang ataukah sang macan dengan mitos 20% ini. Salah satu jawabannya adalah jika kita masuk kesebuah ruangan dengan tumpukan buku yang nilai anggarannya ratusan juta tergeletak penuh debu tak tersalurkan karena tidak sesuai dengan kurikulum. Lalu siapakah yang harus menangis, anak-anak kita di sekolah ataukah para guru yang kebingungan, saat menerima buku yang tak sesuai dengan kurikulum itu. Sang pawang dan sang macan tetap saja tertawa lebar sambil berteriak:…...hidup 20%!!!.

Mitos ketiga : Anggaran ini telah dibuat sangat rasional dengan kebutuhan daerah dan masyarakat.
Banyak hal positif yang telah dilakukan sang pawang, yang sebenarnya  bisa menjadi factor pendorong terhadap tindakan yang lebih arif dalam pemberdayaan masyarakat. Meski sisi negatifnya masih terlihat, utamanya pada hati nurani kita, apakah yang dilakukan selama ini benar-benar murni untuk kepentingan masyarakat, ataukah masyarakat sasaran benar-benar hanya menjadi sasaran, atau legalisasi kepentingan lembaga sang pawang dan sang macan, atau lebih sial lagi kalau hanya untuk kepentingan individu dalam lembaga. Bertanyalah pada hati nurani, sejauh mana kalimat sakti memberdayakan masyarakat telah dilakukan.
Timbanglah dalam jiwa, sebenarnya  yang tidak berdaya itu siapa?  Pemberdayaan itu sendiri, yang bahasa sononya adalah empower mempunyai arti member kekuatan (give power) atau hak/otoritas untuk berbuat (authority to act).

Ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada pada masyarakat, pada saat menerima  kegiatan-kegiatan dari sang pawang, substansi “give power or authority to act” benar-benar terkontaminasi dengan mereka yang belum rela jika “ power dan authority” nya di ambil oleh masyarakat.

Semua mitos diatas adalah sampah.
Jika kita menengok bagaimana nasib proyek Tanaman Jarak dan kini hanya meninggalkan papan proyek, tanyakan pada masyarakat, apa benar mereka yang mengusulkan kegiatan itu. Tanyakan pada para nelayan apa benar mereka semua adalah nelayan, yang diberi tanggung jawab melaksanakan kegiatan budidaya rumput laut dan budidaya ikan karapu, yang proyeknya hilang begitu saja. Tanyakan pada gedung-gedung sekolah di daerah ini apakah sama tingkat kerusakannya, hingga nilai rehabnya harus  rata. Tanyakan pada petani kakao apa benar proyek Gernas Kakao berhasil meningkatkan produktifitas ataupun penghasilan mereka; Adakah proyek yang penandatangan keberhasilan proyek, dilaksanakan pada awal proyek ini dilaksanakan.

Tanyakan kepada para kepala Desa apa mereka sudah merasa layak dengan intensif mereka. Ataukah sengaja agar mereka bisa bermain-main dengan ADD-nya. Tanyakan juga pada para PNS apa mereka tidak risih memakai baju seragam tahun kemarin yang nilainya 100 ribuan dan tidak cemburu melihat nilai pakaian seragam wakil mereka di DRPD yang 2.950.000 rupiah per-orang.
Apakah usulan-usulan program para Kepala Dinas/Kantor/Badan yang telah direalisasi dalam APBD dan tidak bingung dengan program-program titipan Sang Macan. Dan masih banyak apakah-apakah lain untuk menggambarkan sejauh mana kebenaran pendapat hati nurani Sang Pawang atau Sang Macan.

Walhasil, sambil tetap bersifat kritis, kita juga harus belajar memandang persoalan tidak sederhana seperti yang kita inginkan, apalagi jika itu berkembang menjadi mitos. Lima tahun adalah masa Sang Pawang dan Sang Macan menguasai belantara rupiah, mengelola, memanfaatkan demi kepentingan masyarakat. Itu yang harus diingat. Sebab tidak sedikit Pawang dan Macan yang culas, korup dan tidak tahu diri harus berurusan dengan para penjaga belantara rupiah.   (MITOS seputar APBD)                                                                                                                     

Monday, April 12, 2010

Benarkah Kita Sering ber-dialog...?


Apa bedanya dialog dengan monolog? Secara sederhana monolog adalah berbicara sendirian dan dialog adalah ngobrol berdua atau lebih dari dua orang. Monolog sering diterjemahkan ngomong saja sedangkan dialog diartikan dengan percakapanan.

Ketika mendengar kata monolog, yang terbayang dalam benak kita adalah filsuf yang mengungkapkan hasil pemikirannya dengan kata-kata, tanpa memperhatikan apakah orang disekitarnya mengerti atau tidak: atau orang gila karena cinta atau harta yang tiada henti-hentinya berceloteh tentang cintanya atau hartanya yang hilang, atau pemain teater yang berlari dari bagian panggung yang satu ke bagian yang lain sambil berteriak-teriak.

Dialog mengantarkan pikiran kita pada siswa dan guru yang belajar dengan cara yang berdiskusi atau percakapan diantara tokoh-tokoh politik yang membahas satu atau beberapa issue atau rekaman pembicaraan (yang sebenarnya atau yang dibayangkan) diantara para pemikir, seperti dialognya plato: atau para tokoh dari berbagai agama yang bertemu mengulas masalah kemanusiaan.

Para filsuf jelas memuji dialog dan mengecam monolog. Nama-nama yang bagus dinisbahkan pada komunikasi dialogis, komunikasi otentik, komunikasi fasilitatif, komunikasi eksistensial, komunikasi suportif, komunikasi terapeutik, hubungan cinta kasih, tetapi nondirektif dan partisipasi. Untuk komunikasi monologis disebutkan atribut-atribut jelek : defensif, manipulatif, tak-otentik, direktif.
Dengan begitu, riuh rendalah orang bercerita tentang perlunya dialog disegala bidang. Keluarga yang harmonis ditandai dengan banyaknya dialog; kecerdasan murid berkembang dalam suasana dialog. Dunia maju karena dialog diantara berbagai peradaban (kecuali Huntington yang melihat dunia dari Clash of civilizations).

Seperti biasa: akhirnya kita tertarik pada dialog sebagai symbol saja. Yang kita lakukan tetap saja monolog, yang terbungkus dalam kemasan dialog. Ciri-ciri luar dialog kita penuhi, hakikat terdalam dialog kita jauhi. Semua percakapan secara rahiliah adalah dialog, tetapi banyaknya percakapan yang sebenarnya adalah monolog.

Seorang bapak yang ngobrol dengan anak-anaknya, tetapi mereka tidak pernah memperkenankan mereka untuk berbeda pendapat dengan dia. Seorang pejabat memberikan petunjuk kepada rakyatnya, yang sekali-kali menjawab pertanyaannya atau memberikan komentar yang mempertegas persetujuan mereka. Seorang majikan berbincang dengan pelayannya, tetapi yang diajak berbincang hanya mengucapkan kalimat yang sama: iye puang” 

Semua secara lahiriah berbentuk dialog, secara hakiki semua adalah monolog.

Yang menentukan apakah percakapan itu monolog bukan bentuknya, tetapi karakter dan perilaku komunikatornya. Menurut Marlin Buber, dalam monolog kita memandang orang lain sebagai objek untuk dimanipulasikan buat kepentingan diri sendiri, tujuan komunikasi adalah menguasai penerima pesan demi kepentingan kita. Kita tertarik dengan ikhwal khalayak kita sejauh ikhwal tersebut membantu kita untuk mendesain pesan yang menaklukkan mereka.

Dalam monolog, kita hanya memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita, prestise dan otoritas kita, ungkapan perasaan kita, pertunjukan kekuasaan kita, dan upaya kita untuk membentuk orang lain dalam citra kita. Walhasil, monolog ditandai dengan keinginan untuk menyeret, menguasai, mendominasi, mengeksploitasi, memanipulasi orang yang kita ajak bicara.

Dalam monolog kita berbicara kepada bukan dengan mereka. Dalam klasifikasi Wayne Brockriede, dihadapan massa selalu ada tiga jenis ahli terotika, dua diantaranya termasuk monolog, walaupun dilakukan dalam bentuk percakapan timbal-balik.

Pertama, pemerkosa retoris. Dia melihat massa berbagai objek, korban atau manusia rendah yang harus digiring kesasaran yang dia kehendaki. Sikapnya terhadap khalayak adalah superioritas, dominasi, pemaksaan, kecaman. Yang termasuk ini adalah manusia yang menganggap masyarakat sebagai kerbau yang harus dicocok hidungnya, digiring kearah berfikir yang menurutnya adalah yang terbaik.

Kedua, perayu retoris. Ia melihat masyarakat sebagai sasaran rayuan maut sikapnya terhadap khalayak bersifat tidak tulus, mempesona, merayu, dan tak acuh terhadap identitas, integritas, dan rasionalitas khalayak. Manusia jenis ini menggunakan kerancuan logis, memutar balikkan fakta, memanfaatkan motif-motif manusia yang rendah, menjebak dengan analogi. Ia menyeret masyarakat dengan tipuan, pameran kebaikan, atau iming-iming janji.
Keduanya sama melakukan percakapan monologis.

Ketiga, pecinta retoris. Inilah perilaku dialog. Ia melihat khalayak sebagai mitra. Hubungannya dengan massa didasarkan pada penghormatan, persamaan, kesiapan untuk mengubah diri, keterbukaan pada gagasan baru, kesediaan untuk menerima kritik, dan keinginan tulus untuk memberikan pilihan bebas kepada orang lain. Yang ketiga ini, sayang sekali, umumnya dilakukan diantara sahabat karib, pecinta, filsuf dan ilmuwan, serta hampir tak pernah diantara politisi dan pejabat.

Tak percaya? Saksikanlah bila ada acara sosialisasi oleh Pemkab atau DPRD....... (Aziil Anwar)


Thursday, April 8, 2010

Siapa yang MISKIN



Menjadi Racil (Rakyat Kecil) di negeri ini tak pernah lepas dari label buruk. Sudah dicap SDMnya rendah, dikatakan tidak punya mental membangun, hanya memikirkan uang kalau bekerja dan masih banya label buruk lainnya, akhir-akhir ini malah dicap sebagai pihak yang paling miskin, hingga mengalirlah program-program dan kegiatan-kegiatan yang mengatas namakan mereka.
Secara makro hubungan antara Racil dan kemiskinan memang terlihat. Saya melihat kekuatan hubungannya sekedar asosiasi saja, mengingat keduanya memang tidak  berkaitan langsung. Perlu disadari, pada tingkat mikro terdapat cukup banyak faktor mengantarai variabel kemiskinan dan sosok rakyat kecil itu sendiri.
Sehingga bisa dikatakan bukan sosok Racil sendiri sebagai satu-satunya yang berpredikat miskin, melainkan bertemunya aneka faktor yang kemudian menimbulkan kemiskinan. Bila dipadukan antara kemiskinan dan model kejahatan, kemiskinan seseorang bisa menjadi pemacu untuk berbuat jahat.
Kemiskinan juga kerap berkombinasi dengan kepadatan, anonimitas, kecenderungan agresif, perilaku vandalitas hingga destruktif. Namun, masih lebih banyak lagi hal yang menjadikan asosiasi itu lemah. Kemiskinan umumnya membawa seseorang kembali ke komunitas sosialnya, yang lalu merupakan faktor penarik (pull factor) bila yang bersangkutan “gatal tangan” alias ingin berbuat kejahatan.
Kemiskinan, khususnya  kemiskinan struktural, umumnya dilengkapi dengan sejumlah pola atau gaya hidup, nilai, serta orientasi hidup yang juga amat sederhana, ini membuat kalangannya (Racil) tidak merasa panas hati, menerima apa adanya, saat menghadapi kenyataan tersebut. Mereka yang miskin akan tetap bisa tertawa karena mereka tidak miskin secara sosial.
Jadi siapa sebenarnya yang paling miskin dan berpotensi melakukan kejahatan. Besar kemungkinan, orang-orang yang memiliki salah satu ciri berikut ini : Mereka yang mempersepsikan dirinya semakin miskin (padahal masih tetap kaya dan semakin kaya), yang mengekspektasikan suatu kondisi yang jauh lebih baik dari yang ditemui (padahal sekarangpun sudah lebih baik dibanding dulu), serta yang berusaha mati-matian memanfaatkan peluang sekarang ini guna semakin kaya (memanfaatkan jabatan/pengaruhnya).
Karakteristik tersebut jelas hanya dimiliki kalangan menengah keatas. Sebagai kejahatan kelas menengah (middle-class criminality), motif perilaku semata-mata economic-driven atau pertimbangan pemerolehan ekonomis. Namun tentu saja level, target serta modusnya jauh lebih  canggih dibanding mereka yang berbuat jahat hanya untuk makan nanti sore, atau agar anaknya minum sedikit susu.
Disitulah letak bahayanya. Kalangan ini telah fasih, katakanlah melalui praktek pemaksaan pembelian komponen-komponen tertentu dalam Belanja Operasional dan Pemeliharaan serta Belanja Modal, mengutak atik komponen biaya suatu barang ataupun kegiatan tanpa terlihat atau ketahuan, kalangan  ini juga sangat tega melakukan berbagai strategi guna menekan pihak lain dengan jabatan dan kekuatannya hingga korbannya tak bisa berkutik, dan menerima dana titipan dari kegiatan yang tidak diusulkan.
Bisa diduga, di atas kondisi negeri ini yang agak membingungkan, justru kalangan ini melihat peluang-peluang tersendiri untuk melakukan kejahatan. Lalu, seiring dilakukannya anggaran kinerja, orang-orang ini toh masih bisa melakukan korupsi “legal”. Dan kalaupun kantor mengusahakan tak ada penambahan inventaris, kalangan ini tetap mempunyai askes guna menimbulkan kebutuhan akan barang tertentu, agar dibeli dan penjualnya ataupun pelaksana pembelian barang tersebut dimintai komisi yang besarnya kadang tak rasional.
Alhasil, kalangan yang strategis ini meiliki potensi kriminogenik entah untuk melakukan kejahatan itu sendiri, untuk membuat orang lain semakin susah, atau sebagai satu-satunya penyebab semakin miskinnya negeri ini (Racil).
Permasalahannya, kenapa yang justru mencuat adalah kekhawatiran terhadap kemiskinan yang ada pada masyarakat bawah (Racil). Karena apalagi alasan yang bisa dijadikan latar belakang dari pengajuan suatu program ataupun kegiatan untuk menghabiskan dana daerah, kalau bukan Racil.
Posisi dan kemampuan kalangan ini memang lebih cocok untuk berbuat kejahatan jabatan, kejahatan profesional, serta kejahatan ekonomi. Maka adalah gambaran yang tak bisa terelakkan, bila hingga tahun 2010 ini, jika kalangan ini tidak merespon early warning yang disinyalkan MATRAMAN, pihak kejaksanaan bakal lebih banyak mengungkap berbagai penyimpangan, katakanlah kasus korupsi, penggelembungan dana, pengelabuan serta pemaksaan komponen-komponen biaya yang menyalahi peraturan yang berlaku. Seandainya pihak Kejaksaan kurang tanggap, pihak KPK bakal kerepotan menerima pengaduan-pengaduan baik dari MATRAMAN maupun masyarakat (Racil).
Rupanya peringatan lisan, peringatan tulisan tidak begitu berpengaruh bagi kalangan ini, mungkin mereka butuh peringatan fisik.
Namun terserah dech....!!!???