Thursday, April 8, 2010

Siapa yang MISKIN



Menjadi Racil (Rakyat Kecil) di negeri ini tak pernah lepas dari label buruk. Sudah dicap SDMnya rendah, dikatakan tidak punya mental membangun, hanya memikirkan uang kalau bekerja dan masih banya label buruk lainnya, akhir-akhir ini malah dicap sebagai pihak yang paling miskin, hingga mengalirlah program-program dan kegiatan-kegiatan yang mengatas namakan mereka.
Secara makro hubungan antara Racil dan kemiskinan memang terlihat. Saya melihat kekuatan hubungannya sekedar asosiasi saja, mengingat keduanya memang tidak  berkaitan langsung. Perlu disadari, pada tingkat mikro terdapat cukup banyak faktor mengantarai variabel kemiskinan dan sosok rakyat kecil itu sendiri.
Sehingga bisa dikatakan bukan sosok Racil sendiri sebagai satu-satunya yang berpredikat miskin, melainkan bertemunya aneka faktor yang kemudian menimbulkan kemiskinan. Bila dipadukan antara kemiskinan dan model kejahatan, kemiskinan seseorang bisa menjadi pemacu untuk berbuat jahat.
Kemiskinan juga kerap berkombinasi dengan kepadatan, anonimitas, kecenderungan agresif, perilaku vandalitas hingga destruktif. Namun, masih lebih banyak lagi hal yang menjadikan asosiasi itu lemah. Kemiskinan umumnya membawa seseorang kembali ke komunitas sosialnya, yang lalu merupakan faktor penarik (pull factor) bila yang bersangkutan “gatal tangan” alias ingin berbuat kejahatan.
Kemiskinan, khususnya  kemiskinan struktural, umumnya dilengkapi dengan sejumlah pola atau gaya hidup, nilai, serta orientasi hidup yang juga amat sederhana, ini membuat kalangannya (Racil) tidak merasa panas hati, menerima apa adanya, saat menghadapi kenyataan tersebut. Mereka yang miskin akan tetap bisa tertawa karena mereka tidak miskin secara sosial.
Jadi siapa sebenarnya yang paling miskin dan berpotensi melakukan kejahatan. Besar kemungkinan, orang-orang yang memiliki salah satu ciri berikut ini : Mereka yang mempersepsikan dirinya semakin miskin (padahal masih tetap kaya dan semakin kaya), yang mengekspektasikan suatu kondisi yang jauh lebih baik dari yang ditemui (padahal sekarangpun sudah lebih baik dibanding dulu), serta yang berusaha mati-matian memanfaatkan peluang sekarang ini guna semakin kaya (memanfaatkan jabatan/pengaruhnya).
Karakteristik tersebut jelas hanya dimiliki kalangan menengah keatas. Sebagai kejahatan kelas menengah (middle-class criminality), motif perilaku semata-mata economic-driven atau pertimbangan pemerolehan ekonomis. Namun tentu saja level, target serta modusnya jauh lebih  canggih dibanding mereka yang berbuat jahat hanya untuk makan nanti sore, atau agar anaknya minum sedikit susu.
Disitulah letak bahayanya. Kalangan ini telah fasih, katakanlah melalui praktek pemaksaan pembelian komponen-komponen tertentu dalam Belanja Operasional dan Pemeliharaan serta Belanja Modal, mengutak atik komponen biaya suatu barang ataupun kegiatan tanpa terlihat atau ketahuan, kalangan  ini juga sangat tega melakukan berbagai strategi guna menekan pihak lain dengan jabatan dan kekuatannya hingga korbannya tak bisa berkutik, dan menerima dana titipan dari kegiatan yang tidak diusulkan.
Bisa diduga, di atas kondisi negeri ini yang agak membingungkan, justru kalangan ini melihat peluang-peluang tersendiri untuk melakukan kejahatan. Lalu, seiring dilakukannya anggaran kinerja, orang-orang ini toh masih bisa melakukan korupsi “legal”. Dan kalaupun kantor mengusahakan tak ada penambahan inventaris, kalangan ini tetap mempunyai askes guna menimbulkan kebutuhan akan barang tertentu, agar dibeli dan penjualnya ataupun pelaksana pembelian barang tersebut dimintai komisi yang besarnya kadang tak rasional.
Alhasil, kalangan yang strategis ini meiliki potensi kriminogenik entah untuk melakukan kejahatan itu sendiri, untuk membuat orang lain semakin susah, atau sebagai satu-satunya penyebab semakin miskinnya negeri ini (Racil).
Permasalahannya, kenapa yang justru mencuat adalah kekhawatiran terhadap kemiskinan yang ada pada masyarakat bawah (Racil). Karena apalagi alasan yang bisa dijadikan latar belakang dari pengajuan suatu program ataupun kegiatan untuk menghabiskan dana daerah, kalau bukan Racil.
Posisi dan kemampuan kalangan ini memang lebih cocok untuk berbuat kejahatan jabatan, kejahatan profesional, serta kejahatan ekonomi. Maka adalah gambaran yang tak bisa terelakkan, bila hingga tahun 2010 ini, jika kalangan ini tidak merespon early warning yang disinyalkan MATRAMAN, pihak kejaksanaan bakal lebih banyak mengungkap berbagai penyimpangan, katakanlah kasus korupsi, penggelembungan dana, pengelabuan serta pemaksaan komponen-komponen biaya yang menyalahi peraturan yang berlaku. Seandainya pihak Kejaksaan kurang tanggap, pihak KPK bakal kerepotan menerima pengaduan-pengaduan baik dari MATRAMAN maupun masyarakat (Racil).
Rupanya peringatan lisan, peringatan tulisan tidak begitu berpengaruh bagi kalangan ini, mungkin mereka butuh peringatan fisik.
Namun terserah dech....!!!???

2 comments:

  1. kalau dalam bahasa arab, kaya = ghaniy, artinya tidak membutuhkan. jadi, semakin getol seorang pejabat mengambil harta yg bukan haknya,semakin miskinlah ia..
    di negeri ini pernyataan tegas konstitusi "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara",
    telah berubah menjadi "negara memelihara keberadaan fakir miskin dan anak terlantar...sebagai komoditas politik yang seksi dan menjanjikan..."

    ReplyDelete