Apa bedanya dialog dengan monolog?
Secara sederhana monolog adalah
berbicara sendirian dan dialog adalah
ngobrol berdua atau lebih dari dua orang. Monolog sering diterjemahkan ngomong
saja sedangkan dialog diartikan dengan percakapanan.
Ketika mendengar kata monolog, yang
terbayang dalam benak kita adalah filsuf yang mengungkapkan hasil pemikirannya
dengan kata-kata, tanpa memperhatikan apakah orang disekitarnya mengerti atau
tidak: atau orang gila karena cinta atau harta yang tiada henti-hentinya
berceloteh tentang cintanya atau hartanya yang hilang, atau pemain teater yang
berlari dari bagian panggung yang satu ke bagian yang lain sambil
berteriak-teriak.
Dialog mengantarkan pikiran kita
pada siswa dan guru yang belajar dengan cara yang berdiskusi atau percakapan
diantara tokoh-tokoh politik yang membahas satu atau beberapa issue atau
rekaman pembicaraan (yang sebenarnya atau yang dibayangkan) diantara para
pemikir, seperti dialognya plato: atau para tokoh dari berbagai agama yang
bertemu mengulas masalah kemanusiaan.
Para filsuf jelas memuji dialog dan
mengecam monolog. Nama-nama yang bagus dinisbahkan pada komunikasi dialogis,
komunikasi otentik, komunikasi fasilitatif, komunikasi eksistensial, komunikasi
suportif, komunikasi terapeutik, hubungan cinta kasih, tetapi nondirektif dan
partisipasi. Untuk komunikasi monologis disebutkan atribut-atribut jelek :
defensif, manipulatif, tak-otentik, direktif.
Dengan begitu, riuh rendalah orang
bercerita tentang perlunya dialog disegala bidang. Keluarga yang harmonis
ditandai dengan banyaknya dialog; kecerdasan murid berkembang dalam suasana
dialog. Dunia maju karena dialog diantara berbagai peradaban (kecuali
Huntington yang melihat dunia dari Clash of civilizations).
Seperti biasa: akhirnya kita
tertarik pada dialog sebagai symbol saja. Yang kita lakukan tetap saja monolog,
yang terbungkus dalam kemasan dialog. Ciri-ciri luar dialog kita penuhi,
hakikat terdalam dialog kita jauhi. Semua percakapan secara rahiliah adalah
dialog, tetapi banyaknya percakapan yang sebenarnya adalah monolog.
Seorang bapak yang ngobrol dengan
anak-anaknya, tetapi mereka tidak pernah memperkenankan mereka untuk berbeda pendapat
dengan dia. Seorang pejabat memberikan petunjuk kepada rakyatnya, yang
sekali-kali menjawab pertanyaannya atau memberikan komentar yang mempertegas
persetujuan mereka. Seorang majikan berbincang dengan pelayannya, tetapi yang
diajak berbincang hanya mengucapkan kalimat yang sama: “iye puang”
Semua secara lahiriah berbentuk
dialog, secara hakiki semua adalah monolog.
Yang menentukan apakah percakapan
itu monolog bukan bentuknya, tetapi karakter dan perilaku komunikatornya.
Menurut Marlin Buber, dalam monolog
kita memandang orang lain sebagai objek untuk dimanipulasikan buat kepentingan
diri sendiri, tujuan komunikasi adalah menguasai penerima pesan demi
kepentingan kita. Kita tertarik dengan ikhwal khalayak kita sejauh ikhwal tersebut membantu kita untuk
mendesain pesan yang menaklukkan mereka.
Dalam monolog, kita hanya
memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita, prestise dan
otoritas kita, ungkapan perasaan kita, pertunjukan kekuasaan kita, dan upaya
kita untuk membentuk orang lain dalam citra kita. Walhasil, monolog ditandai
dengan keinginan untuk menyeret, menguasai, mendominasi, mengeksploitasi,
memanipulasi orang yang kita ajak bicara.
Dalam monolog kita berbicara kepada bukan dengan mereka. Dalam klasifikasi Wayne Brockriede, dihadapan massa
selalu ada tiga jenis ahli terotika, dua diantaranya termasuk monolog, walaupun
dilakukan dalam bentuk percakapan timbal-balik.
Pertama,
pemerkosa retoris.
Dia melihat massa berbagai objek, korban atau manusia rendah yang harus
digiring kesasaran yang dia kehendaki. Sikapnya terhadap khalayak adalah
superioritas, dominasi, pemaksaan, kecaman. Yang termasuk ini adalah manusia
yang menganggap masyarakat sebagai kerbau yang harus dicocok hidungnya,
digiring kearah berfikir yang menurutnya adalah yang terbaik.
Kedua,
perayu retoris.
Ia melihat masyarakat sebagai sasaran rayuan maut sikapnya terhadap khalayak
bersifat tidak tulus, mempesona, merayu, dan tak acuh terhadap identitas,
integritas, dan rasionalitas khalayak. Manusia jenis ini menggunakan kerancuan
logis, memutar balikkan fakta, memanfaatkan motif-motif manusia yang rendah,
menjebak dengan analogi. Ia menyeret masyarakat dengan tipuan, pameran
kebaikan, atau iming-iming janji.
Keduanya sama melakukan percakapan
monologis.
Ketiga,
pecinta retoris.
Inilah perilaku dialog. Ia melihat khalayak sebagai mitra. Hubungannya dengan
massa didasarkan pada penghormatan, persamaan, kesiapan untuk mengubah diri,
keterbukaan pada gagasan baru, kesediaan untuk menerima kritik, dan keinginan
tulus untuk memberikan pilihan bebas kepada orang lain. Yang ketiga ini, sayang
sekali, umumnya dilakukan diantara sahabat karib, pecinta, filsuf dan ilmuwan,
serta hampir tak pernah diantara politisi dan pejabat.
Tak percaya? Saksikanlah bila ada
acara sosialisasi oleh Pemkab atau DPRD....... (Aziil Anwar)
No comments:
Post a Comment