Monday, April 12, 2010

Benarkah Kita Sering ber-dialog...?


Apa bedanya dialog dengan monolog? Secara sederhana monolog adalah berbicara sendirian dan dialog adalah ngobrol berdua atau lebih dari dua orang. Monolog sering diterjemahkan ngomong saja sedangkan dialog diartikan dengan percakapanan.

Ketika mendengar kata monolog, yang terbayang dalam benak kita adalah filsuf yang mengungkapkan hasil pemikirannya dengan kata-kata, tanpa memperhatikan apakah orang disekitarnya mengerti atau tidak: atau orang gila karena cinta atau harta yang tiada henti-hentinya berceloteh tentang cintanya atau hartanya yang hilang, atau pemain teater yang berlari dari bagian panggung yang satu ke bagian yang lain sambil berteriak-teriak.

Dialog mengantarkan pikiran kita pada siswa dan guru yang belajar dengan cara yang berdiskusi atau percakapan diantara tokoh-tokoh politik yang membahas satu atau beberapa issue atau rekaman pembicaraan (yang sebenarnya atau yang dibayangkan) diantara para pemikir, seperti dialognya plato: atau para tokoh dari berbagai agama yang bertemu mengulas masalah kemanusiaan.

Para filsuf jelas memuji dialog dan mengecam monolog. Nama-nama yang bagus dinisbahkan pada komunikasi dialogis, komunikasi otentik, komunikasi fasilitatif, komunikasi eksistensial, komunikasi suportif, komunikasi terapeutik, hubungan cinta kasih, tetapi nondirektif dan partisipasi. Untuk komunikasi monologis disebutkan atribut-atribut jelek : defensif, manipulatif, tak-otentik, direktif.
Dengan begitu, riuh rendalah orang bercerita tentang perlunya dialog disegala bidang. Keluarga yang harmonis ditandai dengan banyaknya dialog; kecerdasan murid berkembang dalam suasana dialog. Dunia maju karena dialog diantara berbagai peradaban (kecuali Huntington yang melihat dunia dari Clash of civilizations).

Seperti biasa: akhirnya kita tertarik pada dialog sebagai symbol saja. Yang kita lakukan tetap saja monolog, yang terbungkus dalam kemasan dialog. Ciri-ciri luar dialog kita penuhi, hakikat terdalam dialog kita jauhi. Semua percakapan secara rahiliah adalah dialog, tetapi banyaknya percakapan yang sebenarnya adalah monolog.

Seorang bapak yang ngobrol dengan anak-anaknya, tetapi mereka tidak pernah memperkenankan mereka untuk berbeda pendapat dengan dia. Seorang pejabat memberikan petunjuk kepada rakyatnya, yang sekali-kali menjawab pertanyaannya atau memberikan komentar yang mempertegas persetujuan mereka. Seorang majikan berbincang dengan pelayannya, tetapi yang diajak berbincang hanya mengucapkan kalimat yang sama: iye puang” 

Semua secara lahiriah berbentuk dialog, secara hakiki semua adalah monolog.

Yang menentukan apakah percakapan itu monolog bukan bentuknya, tetapi karakter dan perilaku komunikatornya. Menurut Marlin Buber, dalam monolog kita memandang orang lain sebagai objek untuk dimanipulasikan buat kepentingan diri sendiri, tujuan komunikasi adalah menguasai penerima pesan demi kepentingan kita. Kita tertarik dengan ikhwal khalayak kita sejauh ikhwal tersebut membantu kita untuk mendesain pesan yang menaklukkan mereka.

Dalam monolog, kita hanya memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita, prestise dan otoritas kita, ungkapan perasaan kita, pertunjukan kekuasaan kita, dan upaya kita untuk membentuk orang lain dalam citra kita. Walhasil, monolog ditandai dengan keinginan untuk menyeret, menguasai, mendominasi, mengeksploitasi, memanipulasi orang yang kita ajak bicara.

Dalam monolog kita berbicara kepada bukan dengan mereka. Dalam klasifikasi Wayne Brockriede, dihadapan massa selalu ada tiga jenis ahli terotika, dua diantaranya termasuk monolog, walaupun dilakukan dalam bentuk percakapan timbal-balik.

Pertama, pemerkosa retoris. Dia melihat massa berbagai objek, korban atau manusia rendah yang harus digiring kesasaran yang dia kehendaki. Sikapnya terhadap khalayak adalah superioritas, dominasi, pemaksaan, kecaman. Yang termasuk ini adalah manusia yang menganggap masyarakat sebagai kerbau yang harus dicocok hidungnya, digiring kearah berfikir yang menurutnya adalah yang terbaik.

Kedua, perayu retoris. Ia melihat masyarakat sebagai sasaran rayuan maut sikapnya terhadap khalayak bersifat tidak tulus, mempesona, merayu, dan tak acuh terhadap identitas, integritas, dan rasionalitas khalayak. Manusia jenis ini menggunakan kerancuan logis, memutar balikkan fakta, memanfaatkan motif-motif manusia yang rendah, menjebak dengan analogi. Ia menyeret masyarakat dengan tipuan, pameran kebaikan, atau iming-iming janji.
Keduanya sama melakukan percakapan monologis.

Ketiga, pecinta retoris. Inilah perilaku dialog. Ia melihat khalayak sebagai mitra. Hubungannya dengan massa didasarkan pada penghormatan, persamaan, kesiapan untuk mengubah diri, keterbukaan pada gagasan baru, kesediaan untuk menerima kritik, dan keinginan tulus untuk memberikan pilihan bebas kepada orang lain. Yang ketiga ini, sayang sekali, umumnya dilakukan diantara sahabat karib, pecinta, filsuf dan ilmuwan, serta hampir tak pernah diantara politisi dan pejabat.

Tak percaya? Saksikanlah bila ada acara sosialisasi oleh Pemkab atau DPRD....... (Aziil Anwar)


No comments:

Post a Comment