Betapapun hebatnya pawang hewan membesarkan anak macam;
sang pawang menghadapi resiko diterkam macan yang dipeliharanya sendiri, saat
anak macan itu tumbuh menjadi besar dan buas. Inilah pengandaian yang paling
mengena, untuk menggambarkan alokasi keuangan daerah ini yang telah terlanjur
bobrok, melalui kebijakan dan prektek kolusi, korupsi dan nepotisme, yang
secara sadar atau tidak telah ikut membesarkan beberapa anak macan penentu
kebijakan public.
Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang harus
bertanggung jawab ketika “anak macan”, yang mulai tidak terkendali dan tumbuh menjadi
perancang APBD yang merugikan rakyat. Apakah sang macan atau “sang pawang” yang
selama ini membesarkannya? Pertanyaan sederhana ini tak mudah dijawab.
Di kalangan masyarakat setidaknya terdapat dua
pendapat yang dominan. Pertama,
menganggap “sang pawang”, sebagai sumber utama masaalah. Dalam menerapkan
kebijakan “sang pawang” dilihat telah keliru memihak, yakni lebih membela
kepentingan segelintir golongan dari pada kepentingan rakyat.
Pendapat Kedua,
menolak diletakkannya “sang pawang” sebagai sumber utama masalah; musuh yang
dianggap paling berbahaya bagi kepentingan rakyat tertuju pada kelompok sang
macan, yang dilihat sebagai aktor yang immoral, yang rakus yang menghalalkan
segala cara. Meski praktek semacam ini tumbuh tak lepas dari kerjasama dengan
oknum pejabat atau birokrat korup.
Jaringan kerja sang macan ini terlihat telah tumbuh
sebagai entitas sendiri, yang kadang lepas dari kontrol sang pawang yang
notabene adalah pimpinannya dalam mendudukkan sang macan dilembaga sakral ini.
Koloborasi antara sang pawang dan sang macan pada APBD, mempopulerkan berbagai
mitos yang intinya mengarah kepada pembenaran tindakan kelompok ini (sang pawang
dan sang macan).
Mitos pertama : masyarakat
telah menyetujui anggaran yang ditetapkan, hal ini dibuktikan dengan telah ditetapkannya APBD itu
sendiri melalui persetujuan DPRD.
Memang benar, namun jika proses yang dilakukan hanya
sebagai bentuk legalisasi suatu produk regulasi yang kemudian dihianati sendiri
oleh sang pawang dan sang macan, maka
makna apa yang bisa dipetik dari kegiatan yang bisa dikatakan hanya formalitas
belaka.
Kasak-kusuk menjelang pengesahan APBD sangat intens,
setiap penanggung jawab kegiatan mengeluarkan berbagai jurus ampuh, agar
proyeknya bisa diakomodir. Disaat seperti inilah wibawa “sang macan” nampak
begitu sakral, setiap gerakannya menjadi sangat menarik untuk diterjemahkan.
Mulai dari caranya mengerling, mengedipkan mata, mengangkat jempol hingga cara
berjabat tangan, menjadi nilai tersendiri bagi para penanggung jawab proyek.
Mitos kedua : anggaran yang ditetapkan sangat memihak
kepada perkembangan pendidikan di daerah ini, ini terlihat pada anggaran pada
sector pendidikan yang mencapai angka 20% dari APBD.
Jika kita menyimak anggaran untuk Dinas P & K,
memang benar angka 20% itu, namun jika kita para anjing gila yang kadang bisa
menjadi anjing pelacak mengendus lebih teliti, sangatlah banyak hal-hal yang
bisa membuat kita semua tertawa malu dengan salah satu kebanggaan sang pawang
itu. Coba lihat dana pengadaan computer,
yang satu unitnya 6 jutaan. Komputer dengan spesifikasi lainnya pada
komputer tersebut nilai pasarnya saat ini kurang dari 3 juta ditambah printer
yang harganya 500 ribu maka nilai per unitnya tidak lebih dri 3,5 jutaan. Lalu
selisih harga dikali sekian ratus unit jatuh kemana, ke dunia pendidikan
ataukah kebeberapa orang “terdidik”. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah
nilai 20% anggaran untuk pendidikan hanya berbicara pada jumlah anggaran
ataukah pada nilai fasilitas, nilai manfaat atau nilai jasa.
Begitu pula dengan pelatihan-pelatihan yang diadakan
diderah sendiri nilainya puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta per
kegiatan; Sangatlah fantastis dan perlu dipertanyakan. Untuk suatu kegiatan
pelatihan dengan fasilitas mewah selama 3 hari untuk ukuran daerah ini maka
nilai 30 jutaan sangatlah maksimal, ini sudah termasuk fee untuk jasa
pelaksanaan sebanyak maksimal 10%. Lalu jika satu kali pelaksanaan pelatihan
atau sosialisasi menggunakan dana 100 jutaan, sisanya kemana. Silahkan
berkreasi dan mendapat fee dari kegiatan seperti ini, tapi janganlah sampai
merampok tanah yang kita cintai ini, yang APBDnya sangat minim
Seberapa jauh kepentingan sang pawang ataukah sang
macan dengan mitos 20% ini. Salah satu jawabannya adalah jika kita masuk
kesebuah ruangan dengan tumpukan buku yang nilai anggarannya ratusan juta
tergeletak penuh debu tak tersalurkan karena tidak sesuai dengan kurikulum.
Lalu siapakah yang harus menangis, anak-anak kita di sekolah ataukah para guru
yang kebingungan, saat menerima buku yang tak sesuai dengan kurikulum itu. Sang
pawang dan sang macan tetap saja tertawa lebar sambil berteriak:…...hidup
20%!!!.
Mitos ketiga
: Anggaran ini telah dibuat sangat rasional dengan kebutuhan daerah dan
masyarakat.
Banyak hal positif yang telah dilakukan sang pawang,
yang sebenarnya bisa menjadi factor
pendorong terhadap tindakan yang lebih arif dalam pemberdayaan masyarakat.
Meski sisi negatifnya masih terlihat, utamanya pada hati nurani kita, apakah
yang dilakukan selama ini benar-benar murni untuk kepentingan masyarakat,
ataukah masyarakat sasaran benar-benar hanya menjadi sasaran, atau legalisasi
kepentingan lembaga sang pawang dan sang macan, atau lebih sial lagi kalau
hanya untuk kepentingan individu dalam lembaga. Bertanyalah pada hati nurani,
sejauh mana kalimat sakti memberdayakan masyarakat telah dilakukan.
Timbanglah dalam jiwa, sebenarnya yang tidak berdaya itu siapa? Pemberdayaan itu sendiri, yang bahasa sononya
adalah empower mempunyai arti member
kekuatan (give power) atau hak/otoritas untuk berbuat (authority to act).
Ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada pada
masyarakat, pada saat menerima
kegiatan-kegiatan dari sang pawang, substansi “give power or authority
to act” benar-benar terkontaminasi dengan mereka yang belum rela jika “ power
dan authority” nya di ambil oleh masyarakat.
Semua mitos diatas adalah sampah.
Jika kita menengok bagaimana nasib proyek Tanaman Jarak
dan kini hanya meninggalkan papan proyek, tanyakan pada masyarakat, apa benar
mereka yang mengusulkan kegiatan itu. Tanyakan pada para nelayan apa benar
mereka semua adalah nelayan, yang diberi tanggung jawab melaksanakan kegiatan
budidaya rumput laut dan budidaya ikan karapu, yang proyeknya hilang begitu
saja. Tanyakan pada gedung-gedung sekolah di daerah ini apakah sama tingkat
kerusakannya, hingga nilai rehabnya harus
rata. Tanyakan pada petani kakao apa benar proyek Gernas Kakao berhasil
meningkatkan produktifitas ataupun penghasilan mereka; Adakah proyek yang
penandatangan keberhasilan proyek, dilaksanakan pada awal proyek ini
dilaksanakan.
Tanyakan kepada para kepala Desa apa mereka sudah
merasa layak dengan intensif mereka. Ataukah sengaja agar mereka bisa
bermain-main dengan ADD-nya. Tanyakan juga pada para PNS apa mereka tidak risih
memakai baju seragam tahun kemarin yang nilainya 100 ribuan dan tidak cemburu
melihat nilai pakaian seragam wakil mereka di DRPD yang 2.950.000 rupiah
per-orang.
Apakah usulan-usulan program para Kepala
Dinas/Kantor/Badan yang telah direalisasi dalam APBD dan tidak bingung dengan
program-program titipan Sang Macan. Dan masih banyak apakah-apakah lain untuk
menggambarkan sejauh mana kebenaran pendapat hati nurani Sang Pawang atau Sang
Macan.
No comments:
Post a Comment