Wednesday, May 5, 2010

Hanya siswa yang jadi korban UN

Assalamualaikum wr.wb.

Pertama-tama perkenankan saya atas nama Komite Sekolah SMP Negeri 1 Sendana, menyampaikan penghargaan kepada Ketua Panitia Pelaksana, Acara Perpisahan ini, beserta seluruh siswa/siswi Kelas III, Para guru, dan Bapak Kepala sekolah yang telah memberikan perhatian dan persiapannya, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik…sekali lagi terima kasih.

Para hadirin sekalian…
Sebagai Ketua Komite SMP Negeri 1 Sendana, izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang saya pikir, perlu saya sampaikan pada kesempatan yang sangat baik ini, khususnya mengenai pelaksanaan UN yang telah dilaksanakan beberapa saat yang lalu.
Pertama, dasar pelaksanaan UN ini, salah satunya untuk mengukur kompetensi sekolah, berbicara  tentang kompetensi sekolah, tentu ada beberapa tolok ukur yang bisa dijadikan dasar keberhasilan satu sekolah; Antara lain sarana dan prasarana sekolah, ketersediaan buku, kemampuan para guru dan daya serap siswa siswi itu sendiri.
Namun UN sebagai penentu tingkat kompetensi sekolah, hanya menelan satu korban, hanya para siswa, tidak ada guru yang dikenakan sanksi atas ketidak berhasilan ini, tidak ada evaluasi menyeluruh tentang kebutuhan buku paket, apa sudah mencukupi atau satu buku paket digunakan oleh 10 hingga 20 orang siswa, sehingga mereka tidak maksimal menyerap pesan dan isi buku, tidak ada evaluasi tentang ketercukupan sarana maupun prasarana sekolah, sekali lagi vonis atas tidak berhasilnya satu sekolah, hanyalah menelan satu korban…hanya para siswa.
Ini sangat tidak adil. Saya sangat tidak percaya jika dalam satu sekolah, kalau bisa saya mengambil contoh 6 Madrasah aliyah di kabupaten Majene, tak satupun siswa yang lulus UN tahun ini, tak seorangpun, saya tidak percaya kalau semua murid yang ada di sekolah itu bodoh, tentu ada yang salah dalam sistim pendidikan kita. 

Kedua, kenapa Ujian Nasional ini dilaksanakan; senang tidak senang, suka tidak suka, ini adalah bentuk ketidak percayaan pusat kepada kita. Dan jika bicara tentang ketidak-percayaan, kita dapat melihat fenomena belakangan ini. Seorang anak yang ingin menyelesaikan Sekolah Dasarnya harus mengikuti ujian, ya dia harus di tes, nah pada saat mau masuk ke SMP dia juga harus di tes, apa yang mau saya katakan, pihak SMP tidak percaya hasil ujian sang anak sewaktu tamat SD, buktinya harus di tes. Ingin menyelesaikan sekolahnya di SMP harus di tes, dan masuk ke SMA harus di tes lagi, kenapa…pihak SMA tidak percaya hasil ujian sang anak sewaktu di SMP. Begitu juga setelah di tes pada saat akan selesai di SMA, dan hendak masuk perguruan tinggi, di tes lagi. Jelas pihak Perguruan tinggi tidak percaya hasil ujian di SMA. Parahnya lagi setelah selesai ujian sarjana dan ingin jadi pegawai negeri, harus di tes lagi, dan yang paling parah yang diuji bukan saja kepintaran sang anak, tapi yang terpenting kemampuan ekonomi sang anak, punya uang 40 juta apa tidak.   

Lantaran banyaknya yang tidak lulus jadi PNS, dan bingung menciptakan usaha sendiri, bertambah banyaklah pengangguran. Begitu banyaknya pengangguran sehingga saya menjadi khawatir, jangan-jangan untuk mendapatkan predikat pengangguran mereka juga harus di tes.
Tidak saling percaya di dunia pendidikan memang telah dibangun sejak anak-anak masih di SD. Pertanyaannya siapa yang membangun, siapa yang menciptakan saling tidak percaya ini. Jawabannya: tentunya kita semua, utamanyanya para bapak dan ibu yang bergelut di dunia pendidikan, mulai dari kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat; maaf, ini harus saya katakan, sebagai ketua komite, saya sangat merasakan keresahan para orangtua murid yang melihat sistim pendidikan kita.

Ketiga, kadang saya berpikir, pelaksanaan Ujian Nasional ini hanyalah untuk kepentingan pusat. Ada dua hal besar yang menjadi kepentingan pusat,
Yaitu kepentingan bisnis dan politis. Saya katakan kepentingan bisnis, bapak-ibu bisa lihat, jumlah lembaran soal, biasanya 4 hingga 8 lembar kertas ukuran A3 persoal, untuk tingkat SMP ada empat mata pelajaran dan tingkat SMA ada sekitar 6 mata pelajaran, kalau dihitung-hitung, rata-rata satu orang murid membutuhkan 24 lembar kertas A3.
Bapak dan ibu bisa hitung sendiri, kalau ada satu juta siswa saja yang ikut UN SMP/SMA tahun ini, dan keuntungan satu lembar 100 rupiah saja, maka 1 juta siswa dikali 24 lembar dikali 100 rupiah, angka yang diperoleh cukup fantastis, sekitar 2,4 milyar, itu Cuma keuntungan dari percetakan kertas soal saja. Belum dari anggaran lainnya yang melekat pada proyek UN ini.
Untuk kepentingan politis, bisa saja, di Indonesia tingkat pengangguran dari tahun ketahun semakin meningkat, nah untuk menghambat kenaikan prosentase pengangguran inilah, salah satu caranya dengan menghambat kelulusan siswa, utamanya yang di SMA, kalau mereka lulus, pasti sebagian besar akan menganggur, dengan berbagai alasan tentunya. Orang berfikir, pasti pemerintah berhasil menyiapkan lapangan pekerjaan, padahal…apa…memang hanya yang sedikit yang lulus, sehingga sedikit juga angka pengangguran yang tercipta.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita semua hanyalah korban kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak dan tidak mau tahu kondisi dunia pendidikan di daerah.

Bapak ibu, hadirin yang saya hormati,

Jika ujian nasional dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat kompetensi suatu sekolah, menurut saya oke-oke saja, Ujian Nasional sebaiknya hanya untuk menjadi bahan evaluasi perkembangan pendidikan suatu sekolah, sebagai bahan evaluasi untuk untuk mengukur tingkat kompentensi para guru, menjadi bahan evaluasi tingkat kemampuan manejerial para kepala sekolah, itu boleh saja
Namun bukan untuk menentukan lulus tidaknya seorang murid. Bagaimana bisa, selama tiga tahun seorang siswa menimba ilmu disekolah, nasibnya hanya ditentukan dalam waktu tiga hari saja. Hebatnya lagi, oleh orang, pembuat soal yang tidak kita kenal dan tidak mengenal tingkat kecerdasan, phisologi dan etika sang anak. Dan sama sekali tidak menghargai jerih payah para guru yang membinanya  selama tiga tahun. Anak-anak hanya dijadikan objek dari satu kepentingan, yang sama sekali tidak mereka ketahui. Sungguh kasihan
Seharusnya ujian nasional menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, satu proses dalam belajar mengajar, layaknya ujian harian. Namun apa yang kita saksikan, UN dirancang sedemikian rupa, hingga menjadi suatu hal yang paling menakutkan, bukan saja oleh para murid, bahkan bagi para guru dan orang tua murid. Adanya tim independen, para petugas keamanan dan petinggi-petinggi kabupaten yang berdatangan, sebenarnya bukan untuk kelancaran dan keamanan ujian, tapi adalah bentuk ketidak percayaan kepada para guru dan pengawas ujian itu sendiri, dan mungkin saja hanya untuk kepentingan SPPD.

Bapak camat…dan hadirin sekalian yang saya muliakan
Hampir 5 tahun saya menjadi ketua komite di smp 1 sendana ini, sudah dua kali saya mengajukan usul untuk penggantian, namun sampai saat ini belum ditanggapi, mungkin masih dibutuhkan. Dalam kurun waktu 5 tahun ini, tentunya banyak hal yang bisa saya pelajari dan saya amati disekolah ini, banyak suka dan sedikit dukanya.
Banyak perkembangan di sekolah ini, baik sarana, prasarana, kemampuan para guru yang semakin baik, begitu juga dengan kepemimpinan bapak kepala sekolah yang saya nilai cukup arif dan bijaksana, menanggapi berbagai persoalan; tentu ada saja riak-riak kecil, konflik antar guru maupun antara guru dengan kepala sekolah, namun saya menilainya masih dalam ambang batas kewajaran dan sebagai bentuk dinamika dalam satu organisasi.

Dukanya, terkadang saya menangis dalam hati dan merasa sangat heran jika ada seorang guru menghukum kenakalan seorang siswa atau siswi secara fisik, ada-ada saja alasan pembenarannya, namun hal ini, menurut saya, menunjukkan ketidakmampuan  sang guru itu sendiri atau model guidance dan counceling yang tidak berjalan semestinya, penyebabnya barangkali sistim sanksi sekolah yang belum dijalankan sebagaimana mestinya.
Saya pernah mengajar selama 3 tahun lebih di sekolah ini, walau saya tidak pernah mempelajari dasar-dasar pelajaran menjadi seorang guru, namun saya berpendapat, seorang guru, seharusnya menjadi seorang fasilitator bagi muridnya, penuntun dan pengarah bagi siswa dalam proses belajar mengajar, dan pembentuk budi pekerti sang murid, menjadi seorang sahabat untuk berbagi cerita dan memberi nasehat bagi anak muridnya yang bermasalah atau yang membuat masalah.  Dan selama lebih tiga tahun menjadi guru, tak pernah sedikitpun saya berpikir, bahwa saya bisa menentukan berhasil, tidaknya seorang murid, dan tentunya saya juga berharap para guru lainnya, jangan sampai mempunyai pikiran yang demikian itu.

Saya teringat perkataan seorang filsuf cina, Lao tze, dia berkata:
Datanglah disuatu tempat
Berbaurlah dengan mereka ditempat itu
Berbicaralah dengan mereka
Ajaklah mereka kearah yang lebih baik
Dan jika suatu saat nanti
Mereka menjadi baik
Jangan pernah berpikir
Mereka baik karena kehadiranmu
Mereka menjadi baik
Karena mereka menghendaki kebaikan itu.

Untuk anak-anakku yang lulus nanti, harapan saya, kiranya melanjutkan sekolahnya, jika tidak bisa kesekolah favorit, masih banyak sekolah lain yang mau menerimamu.
Bagi yang belum lulus nanti, harapan saya, bersabarlah dan persiapkan diri kalian untuk ujian ulangan, dan semoga saja berhasil nanti, kami semua mendoakanmu.
Bagi bapak ibu, orang tua murid, harapan saya dapatlah kiranya memberikan motivasi dan dukungan terus menerus kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolahnya, dan saya sangat mengerti, jika bagi sebagian orang tua murid, melanjutkan sekolah sang anak adalah beban yang sangat sulit, tetaplah berusaha demi anak-anak kita.
Dan kepada bapak dan ibu guru, Harapan saya tetaplah terus meningkatkan kompetensi, komitmen, dan dedikasinya serta memberikan yang terbaik untuk perkembangan murid dan sekolah ini. Utamanya yang telah memperoleh sertifikasi guru, karena saya belum melihat upaya kearah itu, maaf.
Harapan saya kepada Bapak Kepala Sekolah, tetaplah arif, bijaksana dan lebih meningkatkan koordinasi, komunikasi dengan para guru lainnya dalam masalah apapun demi kemajuan sekolah ini, yang tidak dalam waktu lama lagi akan bapak tinggalkan.
(nanti sama2 kita tinggalkan)

Hadirin yang saya hormati,
Begitu banyak harapan-harapan yang saya sampaikan pada saat ini, namun saya berharap, harapan-harapan itu tidaklah menjadi suatu beban atau menjadi suatu ketersinggungan, saya berharap harapan-harapan ini akan menjadi motivasi bagi kita semua, pendorong semangat  untuk berbuat lebih baik dan semakin baik bagi sekolah ini, bagi bangsa dan bagi negara tercinta.

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada panitia pelaksana kegiatan ini, kepada bapak dan ibu guru serta bapak kepala sekolah yang telah mempersiapkan acara ini sebaik mungkin, terimakasih juga kepada para undangan, khususnya bapak Camat sendana dan orangtua murid yang telah meluangkan waktu berharganya untuk menghadiri acara ini.
Dan dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf, dan dimaafkan, jika dalam sambutan saya ini, terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati bapak dan ibu sekalian.
Jika ada jarum yang patah,
belilah jarum yang lain
Masih banyak di warung sebelah.

Terima kasih
Fastabiqul khairat
Wassalamualaikum warahmatulahi wabarakatu.

1 comment:

  1. Tulisan yang hebat...
    Kunjungan balik yach...

    http://kacocicci.blogspot.com/

    ReplyDelete