Pada tahun 2009, Dinas pertanian, Kehutanan dan perkebunan Kab. Majene, melaksanakan proyek Pompa Hydrant di Petabeang Kec. Malunda Kab. Majene-Sulawesi Barat, melalui dana APBN senilai 4 milyar rupiah.
Proyek ini akan mengairi persawahan di kec. Malunda seluas kurang lebih 400 Ha. namun hingga kini proyek ini tidak pernah berfungsi, dan hampir 2 tahun ini dibiarkan bagaikan sampah, tanpa usaha untuk meneruskan penyelesaian proyek.
Penjelasan pihak proyek kepada MATRAMAN, bahwa pada tahun ini telah dianggarkan lagi sebanyak 200 juta untuk pembuatan pipa pembuangan sepanjang kurang lebih 800 meter. Saluran pembuangan ini akan menggunakan pipa PVC diameter 12 inchi, namun yang menjadi pertanyaan adalah dana APBN sebesar 4 milyar tersebut, setelah 2 tahun baru akan disempurnakan, dan pertanyaan berikutnya adalah biaya pembuatan saluran pembuangan ini akan menghabiskan dana Rp.250.000,/meternya, atau 200 juta untuk 800 meter.
Setelah negara dirugikan 4 milyar untuk pekerjaan yang tidak bermanfaat, kini APBD Majene akan terbuang percuma sebesar 200 juta.
Pihak berwajib harusnya mengusut penggunaan dana sebesar 4 milyar ini, mulai dari perencanaan dan piohak ketiga pemenang tender ini, apakah mereka mempunyai keahlian dalam hal pembuatan bangunan air, atau proses tendernya yang amburadul hingga memenangkan pihak yang tidak menguasai bidang pekerjaan ini.
Salah satu program pendukung OBIT (One Billion Indonesian Trees) adalah kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KlBR). Salah tujuan mulia kegiatan ini adalah kelompok tani diharapkan akan mempunyai dana sendiri setelah kegiatan ini berlangsung dan dapat memproduksi secara terus menerus bibit2 kehutanan.
Untuk kegiatan ini setiap kelompok memperoleh dana sebesar 50 juta rupiah untuk memproduksi 50 ribu tanaman.
Dana untuk setiap kelompok ditransfer langsung ke rekening masing2 kelompok. Namun setelah dana dicairkan oleh pengurus kelompok, dana tersebut diserahkan ke oknum di Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Majene. Oknum inilah yang kemudian menentukan berapa yang akan diperoleh masing2 kelompok.
Dari laporan dan investigasi langsung MATRAMAN di beberapa kelompok tani, rata2 hanya menerima dana sebesar 30-50% (15-25 juta)/kelompok. Sisanya sekitar 35-25 juta dibagi di beberapa oknum di Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan kab. Majene.
Seharusnya petani menjadi pemilik mutlak kegiatan ini, merekalah yang menandatangani kontrak dengan Kementerian Kehutanan RI, melalui BP DAS Lariang Mamasa, namun sekali lagi oleh orang2 di Dinas yang mengurusi kegiatan mereka menjadi 'sapi perah" dan menjadi buruh diatas lahan pribadi mereka.
Modis operandi seperti ini terjadi di hampir seluruh kelompok tani di Kab. Majene. Caranya akan kami tulis pada laporan selanjutnya......
Pertama-tama
perkenankan saya atas nama Komite Sekolah SMP Negeri 1 Sendana, menyampaikan
penghargaan kepada Ketua Panitia Pelaksana, Acara Perpisahan ini, beserta
seluruh siswa/siswi Kelas III, Para guru, dan Bapak Kepala sekolah yang telah
memberikan perhatian dan persiapannya, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana
dengan baik…sekali lagi terima kasih.
Para hadirin sekalian…
Sebagai Ketua
Komite SMP Negeri 1 Sendana, izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang saya
pikir, perlu saya sampaikan pada kesempatan yang sangat baik ini, khususnya
mengenai pelaksanaan UN yang telah dilaksanakan beberapa saat yang lalu.
Pertama, dasar
pelaksanaan UN ini, salah satunya untuk mengukur kompetensi sekolah,
berbicara tentang kompetensi sekolah,
tentu ada beberapa tolok ukur yang bisa dijadikan dasar keberhasilan satu
sekolah; Antara lain sarana dan prasarana sekolah, ketersediaan buku, kemampuan
para guru dan daya serap siswa siswi itu sendiri.
Namun UN sebagai penentu tingkat
kompetensi sekolah, hanya menelan satu korban, hanya para siswa, tidak ada guru
yang dikenakan sanksi atas ketidak berhasilan ini, tidak ada evaluasi
menyeluruh tentang kebutuhan buku paket, apa sudah mencukupi atau satu buku
paket digunakan oleh 10 hingga 20 orang siswa, sehingga mereka tidak maksimal
menyerap pesan dan isi buku, tidak ada evaluasi tentang ketercukupan sarana
maupun prasarana sekolah, sekali lagi vonis atas tidak berhasilnya satu
sekolah, hanyalah menelan satu korban…hanya para siswa.
Ini sangat
tidak adil. Saya sangat tidak percaya jika dalam satu sekolah, kalau bisa saya
mengambil contoh 6 Madrasah aliyah di kabupaten Majene, tak satupun siswa yang
lulus UN tahun ini, tak seorangpun, saya tidak percaya kalau semua murid yang
ada di sekolah itu bodoh, tentu ada yang salah dalam sistim pendidikan
kita.
Kedua, kenapa Ujian
Nasional ini dilaksanakan; senang tidak senang, suka tidak suka, ini adalah
bentuk ketidak percayaan pusat kepada kita. Dan jika bicara tentang
ketidak-percayaan, kita dapat melihat fenomena belakangan ini. Seorang anak
yang ingin menyelesaikan Sekolah Dasarnya harus mengikuti ujian, ya dia harus
di tes, nah pada saat mau masuk ke SMP dia juga harus di tes, apa yang mau saya
katakan, pihak SMP tidak percaya hasil ujian sang anak sewaktu tamat SD,
buktinya harus di tes. Ingin menyelesaikan sekolahnya di SMP harus di tes, dan
masuk ke SMA harus di tes lagi, kenapa…pihak SMA tidak percaya hasil ujian sang
anak sewaktu di SMP. Begitu juga setelah di tes pada saat akan selesai di SMA, dan
hendak masuk perguruan tinggi, di tes lagi. Jelas pihak Perguruan tinggi tidak
percaya hasil ujian di SMA. Parahnya lagi setelah selesai ujian sarjana dan
ingin jadi pegawai negeri, harus di tes lagi, dan yang paling parah yang diuji
bukan saja kepintaran sang anak, tapi yang terpenting kemampuan ekonomi sang
anak, punya uang 40 juta apa tidak.
Lantaran
banyaknya yang tidak lulus jadi PNS, dan bingung menciptakan usaha sendiri,
bertambah banyaklah pengangguran. Begitu banyaknya pengangguran sehingga saya
menjadi khawatir, jangan-jangan untuk mendapatkan predikat pengangguran mereka
juga harus di tes.
Tidak saling percaya
di dunia pendidikan memang telah dibangun sejak anak-anak masih di SD.
Pertanyaannya siapa yang membangun, siapa yang menciptakan saling tidak percaya
ini. Jawabannya: tentunya kita semua, utamanyanya para bapak dan ibu yang
bergelut di dunia pendidikan, mulai dari kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat;
maaf, ini harus saya katakan, sebagai ketua komite, saya sangat merasakan
keresahan para orangtua murid yang melihat sistim pendidikan kita.
Ketiga, kadang saya
berpikir, pelaksanaan Ujian Nasional ini hanyalah untuk kepentingan pusat. Ada
dua hal besar yang menjadi kepentingan pusat,
Yaitu
kepentingan bisnis dan politis. Saya katakan kepentingan bisnis, bapak-ibu bisa
lihat, jumlah lembaran soal, biasanya 4 hingga 8 lembar kertas ukuran A3
persoal, untuk tingkat SMP ada empat mata pelajaran dan tingkat SMA ada sekitar
6 mata pelajaran, kalau dihitung-hitung, rata-rata satu orang murid membutuhkan
24 lembar kertas A3.
Bapak dan ibu
bisa hitung sendiri, kalau ada satu juta siswa saja yang ikut UN SMP/SMA tahun
ini, dan keuntungan satu lembar 100 rupiah saja, maka 1 juta siswa dikali 24
lembar dikali 100 rupiah, angka yang diperoleh cukup fantastis, sekitar 2,4
milyar, itu Cuma keuntungan dari percetakan kertas soal saja. Belum dari
anggaran lainnya yang melekat pada proyek UN ini.
Untuk
kepentingan politis, bisa saja, di Indonesia tingkat pengangguran dari tahun
ketahun semakin meningkat, nah untuk menghambat kenaikan prosentase pengangguran
inilah, salah satu caranya dengan menghambat kelulusan siswa, utamanya yang di
SMA, kalau mereka lulus, pasti sebagian besar akan menganggur, dengan berbagai
alasan tentunya. Orang berfikir, pasti pemerintah berhasil menyiapkan lapangan
pekerjaan, padahal…apa…memang hanya yang sedikit yang lulus, sehingga sedikit
juga angka pengangguran yang tercipta.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita
semua hanyalah korban kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak dan tidak
mau tahu kondisi dunia pendidikan di daerah.
Bapak ibu, hadirin yang saya hormati,
Jika ujian nasional dijadikan ukuran untuk
menentukan tingkat kompetensi suatu sekolah, menurut saya oke-oke saja, Ujian Nasional
sebaiknya hanya untuk menjadi bahan evaluasi perkembangan pendidikan suatu
sekolah, sebagai bahan evaluasi untuk untuk mengukur tingkat kompentensi para
guru, menjadi bahan evaluasi tingkat kemampuan manejerial para kepala sekolah,
itu boleh saja
Namun bukan
untuk menentukan lulus tidaknya seorang murid. Bagaimana bisa, selama tiga
tahun seorang siswa menimba ilmu disekolah, nasibnya hanya ditentukan dalam waktu
tiga hari saja. Hebatnya lagi, oleh orang, pembuat soal yang tidak kita kenal
dan tidak mengenal tingkat kecerdasan, phisologi dan etika sang anak. Dan sama
sekali tidak menghargai jerih payah para guru yang membinanya selama tiga tahun. Anak-anak hanya dijadikan
objek dari satu kepentingan, yang sama sekali tidak mereka ketahui. Sungguh
kasihan
Seharusnya
ujian nasional menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, satu proses dalam belajar
mengajar, layaknya ujian harian. Namun apa yang kita saksikan, UN dirancang
sedemikian rupa, hingga menjadi suatu hal yang paling menakutkan, bukan saja
oleh para murid, bahkan bagi para guru dan orang tua murid. Adanya tim
independen, para petugas keamanan dan petinggi-petinggi kabupaten yang
berdatangan, sebenarnya bukan untuk kelancaran dan keamanan ujian, tapi adalah
bentuk ketidak percayaan kepada para guru dan pengawas ujian itu sendiri, dan
mungkin saja hanya untuk kepentingan SPPD.
Bapak
camat…dan hadirin sekalian yang saya muliakan
Hampir 5 tahun saya menjadi ketua
komite di smp 1 sendana ini, sudah dua kali saya mengajukan usul untuk
penggantian, namun sampai saat ini belum ditanggapi, mungkin masih dibutuhkan.
Dalam kurun waktu 5 tahun ini, tentunya banyak hal yang bisa saya pelajari dan
saya amati disekolah ini, banyak suka dan sedikit dukanya.
Banyak
perkembangan di sekolah ini, baik sarana, prasarana, kemampuan para guru yang
semakin baik, begitu juga dengan kepemimpinan bapak kepala sekolah yang saya
nilai cukup arif dan bijaksana, menanggapi berbagai persoalan; tentu ada saja
riak-riak kecil, konflik antar guru maupun antara guru dengan kepala sekolah,
namun saya menilainya masih dalam ambang batas kewajaran dan sebagai bentuk dinamika
dalam satu organisasi.
Dukanya, terkadang
saya menangis dalam hati dan merasa sangat heran jika ada seorang guru
menghukum kenakalan seorang siswa atau siswi secara fisik, ada-ada saja alasan
pembenarannya, namun hal ini, menurut saya, menunjukkan ketidakmampuan sang guru itu sendiri atau model guidance dan
counceling yang tidak berjalan semestinya, penyebabnya barangkali sistim sanksi
sekolah yang belum dijalankan sebagaimana mestinya.
Saya pernah
mengajar selama 3 tahun lebih di sekolah ini, walau saya tidak pernah
mempelajari dasar-dasar pelajaran menjadi seorang guru, namun saya berpendapat,
seorang guru, seharusnya menjadi seorang fasilitator bagi muridnya, penuntun dan
pengarah bagi siswa dalam proses belajar mengajar, dan pembentuk budi pekerti
sang murid, menjadi seorang sahabat untuk berbagi cerita dan memberi nasehat bagi
anak muridnya yang bermasalah atau yang membuat masalah. Dan selama lebih tiga tahun menjadi guru, tak
pernah sedikitpun saya berpikir, bahwa saya bisa menentukan berhasil, tidaknya
seorang murid, dan tentunya saya juga berharap para guru lainnya, jangan sampai
mempunyai pikiran yang demikian itu.
Saya teringat perkataan seorang filsuf
cina, Lao tze, dia berkata:
Datanglah disuatu tempat
Berbaurlah dengan mereka ditempat itu
Berbicaralah dengan mereka
Ajaklah mereka kearah yang lebih baik
Dan jika suatu saat nanti
Mereka menjadi baik
Jangan pernah berpikir
Mereka baik karena kehadiranmu
Mereka menjadi baik
Karena mereka menghendaki kebaikan
itu.
Untuk anak-anakku yang lulus nanti, harapan
saya, kiranya melanjutkan sekolahnya, jika tidak bisa kesekolah favorit, masih
banyak sekolah lain yang mau menerimamu.
Bagi yang belum lulus nanti, harapan
saya, bersabarlah dan persiapkan diri kalian untuk ujian ulangan, dan semoga
saja berhasil nanti, kami semua mendoakanmu.
Bagi bapak ibu, orang tua murid,
harapan saya dapatlah kiranya memberikan motivasi dan dukungan terus menerus
kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolahnya, dan saya sangat mengerti,
jika bagi sebagian orang tua murid, melanjutkan sekolah sang anak adalah beban
yang sangat sulit, tetaplah berusaha demi anak-anak kita.
Dan kepada bapak dan ibu guru, Harapan
saya tetaplah terus meningkatkan kompetensi, komitmen, dan dedikasinya serta
memberikan yang terbaik untuk perkembangan murid dan sekolah ini. Utamanya yang
telah memperoleh sertifikasi guru, karena saya belum melihat upaya kearah itu,
maaf.
Harapan saya kepada Bapak Kepala
Sekolah, tetaplah arif, bijaksana dan lebih meningkatkan koordinasi, komunikasi
dengan para guru lainnya dalam masalah apapun demi kemajuan sekolah ini, yang
tidak dalam waktu lama lagi akan bapak tinggalkan.
(nanti sama2 kita tinggalkan)
Hadirin yang saya hormati,
Begitu banyak
harapan-harapan yang saya sampaikan pada saat ini, namun saya berharap,
harapan-harapan itu tidaklah menjadi suatu beban atau menjadi suatu
ketersinggungan, saya berharap harapan-harapan ini akan menjadi motivasi bagi
kita semua, pendorong semangat untuk
berbuat lebih baik dan semakin baik bagi sekolah ini, bagi bangsa dan bagi negara
tercinta.
Akhirnya saya
mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada panitia pelaksana kegiatan ini, kepada
bapak dan ibu guru serta bapak kepala sekolah yang telah mempersiapkan acara
ini sebaik mungkin, terimakasih juga kepada para undangan, khususnya bapak
Camat sendana dan orangtua murid yang telah meluangkan waktu berharganya untuk
menghadiri acara ini.
Dan dengan segala kerendahan
hati, saya mohon maaf, dan dimaafkan, jika dalam sambutan saya ini, terdapat
kata-kata yang kurang berkenan di hati bapak dan ibu sekalian.
Betapapun hebatnya pawang hewan membesarkan anak macam;
sang pawang menghadapi resiko diterkam macan yang dipeliharanya sendiri, saat
anak macan itu tumbuh menjadi besar dan buas. Inilah pengandaian yang paling
mengena, untuk menggambarkan alokasi keuangan daerah ini yang telah terlanjur
bobrok, melalui kebijakan dan prektek kolusi, korupsi dan nepotisme, yang
secara sadar atau tidak telah ikut membesarkan beberapa anak macan penentu
kebijakan public.
Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang harus
bertanggung jawab ketika “anak macan”, yang mulai tidak terkendali dan tumbuh menjadi
perancang APBD yang merugikan rakyat. Apakah sang macan atau “sang pawang” yang
selama ini membesarkannya? Pertanyaan sederhana ini tak mudah dijawab.
Di kalangan masyarakat setidaknya terdapat dua
pendapat yang dominan. Pertama,
menganggap “sang pawang”, sebagai sumber utama masaalah. Dalam menerapkan
kebijakan “sang pawang” dilihat telah keliru memihak, yakni lebih membela
kepentingan segelintir golongan dari pada kepentingan rakyat.
Pendapat Kedua,
menolak diletakkannya “sang pawang” sebagai sumber utama masalah; musuh yang
dianggap paling berbahaya bagi kepentingan rakyat tertuju pada kelompok sang
macan, yang dilihat sebagai aktor yang immoral, yang rakus yang menghalalkan
segala cara. Meski praktek semacam ini tumbuh tak lepas dari kerjasama dengan
oknum pejabat atau birokrat korup.
Jaringan kerja sang macan ini terlihat telah tumbuh
sebagai entitas sendiri, yang kadang lepas dari kontrol sang pawang yang
notabene adalah pimpinannya dalam mendudukkan sang macan dilembaga sakral ini.
Koloborasi antara sang pawang dan sang macan pada APBD, mempopulerkan berbagai
mitos yang intinya mengarah kepada pembenaran tindakan kelompok ini (sang pawang
dan sang macan).
Mitos pertama : masyarakat
telah menyetujui anggaran yang ditetapkan, hal ini dibuktikan dengan telah ditetapkannya APBD itu
sendiri melalui persetujuan DPRD.
Memang benar, namun jika proses yang dilakukan hanya
sebagai bentuk legalisasi suatu produk regulasi yang kemudian dihianati sendiri
oleh sang pawang dan sang macan, maka
makna apa yang bisa dipetik dari kegiatan yang bisa dikatakan hanya formalitas
belaka.
Kasak-kusuk menjelang pengesahan APBD sangat intens,
setiap penanggung jawab kegiatan mengeluarkan berbagai jurus ampuh, agar
proyeknya bisa diakomodir. Disaat seperti inilah wibawa “sang macan” nampak
begitu sakral, setiap gerakannya menjadi sangat menarik untuk diterjemahkan.
Mulai dari caranya mengerling, mengedipkan mata, mengangkat jempol hingga cara
berjabat tangan, menjadi nilai tersendiri bagi para penanggung jawab proyek.
Mitos kedua : anggaran yang ditetapkan sangat memihak
kepada perkembangan pendidikan di daerah ini, ini terlihat pada anggaran pada
sector pendidikan yang mencapai angka 20% dari APBD.
Jika kita menyimak anggaran untuk Dinas P & K,
memang benar angka 20% itu, namun jika kita para anjing gila yang kadang bisa
menjadi anjing pelacak mengendus lebih teliti, sangatlah banyak hal-hal yang
bisa membuat kita semua tertawa malu dengan salah satu kebanggaan sang pawang
itu. Coba lihat dana pengadaan computer,
yang satu unitnya 6 jutaan. Komputer dengan spesifikasi lainnya pada
komputer tersebut nilai pasarnya saat ini kurang dari 3 juta ditambah printer
yang harganya 500 ribu maka nilai per unitnya tidak lebih dri 3,5 jutaan. Lalu
selisih harga dikali sekian ratus unit jatuh kemana, ke dunia pendidikan
ataukah kebeberapa orang “terdidik”. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah
nilai 20% anggaran untuk pendidikan hanya berbicara pada jumlah anggaran
ataukah pada nilai fasilitas, nilai manfaat atau nilai jasa.
Begitu pula dengan pelatihan-pelatihan yang diadakan
diderah sendiri nilainya puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta per
kegiatan; Sangatlah fantastis dan perlu dipertanyakan. Untuk suatu kegiatan
pelatihan dengan fasilitas mewah selama 3 hari untuk ukuran daerah ini maka
nilai 30 jutaan sangatlah maksimal, ini sudah termasuk fee untuk jasa
pelaksanaan sebanyak maksimal 10%. Lalu jika satu kali pelaksanaan pelatihan
atau sosialisasi menggunakan dana 100 jutaan, sisanya kemana. Silahkan
berkreasi dan mendapat fee dari kegiatan seperti ini, tapi janganlah sampai
merampok tanah yang kita cintai ini, yang APBDnya sangat minim
Seberapa jauh kepentingan sang pawang ataukah sang
macan dengan mitos 20% ini. Salah satu jawabannya adalah jika kita masuk
kesebuah ruangan dengan tumpukan buku yang nilai anggarannya ratusan juta
tergeletak penuh debu tak tersalurkan karena tidak sesuai dengan kurikulum.
Lalu siapakah yang harus menangis, anak-anak kita di sekolah ataukah para guru
yang kebingungan, saat menerima buku yang tak sesuai dengan kurikulum itu. Sang
pawang dan sang macan tetap saja tertawa lebar sambil berteriak:…...hidup
20%!!!.
Mitos ketiga
: Anggaran ini telah dibuat sangat rasional dengan kebutuhan daerah dan
masyarakat.
Banyak hal positif yang telah dilakukan sang pawang,
yang sebenarnya bisa menjadi factor
pendorong terhadap tindakan yang lebih arif dalam pemberdayaan masyarakat.
Meski sisi negatifnya masih terlihat, utamanya pada hati nurani kita, apakah
yang dilakukan selama ini benar-benar murni untuk kepentingan masyarakat,
ataukah masyarakat sasaran benar-benar hanya menjadi sasaran, atau legalisasi
kepentingan lembaga sang pawang dan sang macan, atau lebih sial lagi kalau
hanya untuk kepentingan individu dalam lembaga. Bertanyalah pada hati nurani,
sejauh mana kalimat sakti memberdayakan masyarakat telah dilakukan.
Timbanglah dalam jiwa, sebenarnya yang tidak berdaya itu siapa? Pemberdayaan itu sendiri, yang bahasa sononya
adalah empower mempunyai arti member
kekuatan (give power) atau hak/otoritas untuk berbuat (authority to act).
Ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada pada
masyarakat, pada saat menerima
kegiatan-kegiatan dari sang pawang, substansi “give power or authority
to act” benar-benar terkontaminasi dengan mereka yang belum rela jika “ power
dan authority” nya di ambil oleh masyarakat.
Semua mitos diatas adalah sampah.
Jika kita menengok bagaimana nasib proyek Tanaman Jarak
dan kini hanya meninggalkan papan proyek, tanyakan pada masyarakat, apa benar
mereka yang mengusulkan kegiatan itu. Tanyakan pada para nelayan apa benar
mereka semua adalah nelayan, yang diberi tanggung jawab melaksanakan kegiatan
budidaya rumput laut dan budidaya ikan karapu, yang proyeknya hilang begitu
saja. Tanyakan pada gedung-gedung sekolah di daerah ini apakah sama tingkat
kerusakannya, hingga nilai rehabnya harus
rata. Tanyakan pada petani kakao apa benar proyek Gernas Kakao berhasil
meningkatkan produktifitas ataupun penghasilan mereka; Adakah proyek yang
penandatangan keberhasilan proyek, dilaksanakan pada awal proyek ini
dilaksanakan.
Tanyakan kepada para kepala Desa apa mereka sudah
merasa layak dengan intensif mereka. Ataukah sengaja agar mereka bisa
bermain-main dengan ADD-nya. Tanyakan juga pada para PNS apa mereka tidak risih
memakai baju seragam tahun kemarin yang nilainya 100 ribuan dan tidak cemburu
melihat nilai pakaian seragam wakil mereka di DRPD yang 2.950.000 rupiah
per-orang.
Apakah usulan-usulan program para Kepala
Dinas/Kantor/Badan yang telah direalisasi dalam APBD dan tidak bingung dengan
program-program titipan Sang Macan. Dan masih banyak apakah-apakah lain untuk
menggambarkan sejauh mana kebenaran pendapat hati nurani Sang Pawang atau Sang
Macan.
Walhasil, sambil tetap bersifat kritis, kita juga harus belajar
memandang persoalan tidak sederhana seperti yang kita inginkan, apalagi jika
itu berkembang menjadi mitos. Lima tahun adalah masa Sang Pawang dan Sang Macan
menguasai belantara rupiah, mengelola, memanfaatkan demi kepentingan
masyarakat. Itu yang harus diingat. Sebab tidak sedikit Pawang dan Macan yang
culas, korup dan tidak tahu diri harus berurusan dengan para penjaga belantara
rupiah. (MITOS seputar APBD)
Apa bedanya dialog dengan monolog?
Secara sederhana monolog adalah
berbicara sendirian dan dialog adalah
ngobrol berdua atau lebih dari dua orang. Monolog sering diterjemahkan ngomong
saja sedangkan dialog diartikan dengan percakapanan.
Ketika mendengar kata monolog, yang
terbayang dalam benak kita adalah filsuf yang mengungkapkan hasil pemikirannya
dengan kata-kata, tanpa memperhatikan apakah orang disekitarnya mengerti atau
tidak: atau orang gila karena cinta atau harta yang tiada henti-hentinya
berceloteh tentang cintanya atau hartanya yang hilang, atau pemain teater yang
berlari dari bagian panggung yang satu ke bagian yang lain sambil
berteriak-teriak.
Dialog mengantarkan pikiran kita
pada siswa dan guru yang belajar dengan cara yang berdiskusi atau percakapan
diantara tokoh-tokoh politik yang membahas satu atau beberapa issue atau
rekaman pembicaraan (yang sebenarnya atau yang dibayangkan) diantara para
pemikir, seperti dialognya plato: atau para tokoh dari berbagai agama yang
bertemu mengulas masalah kemanusiaan.
Para filsuf jelas memuji dialog dan
mengecam monolog. Nama-nama yang bagus dinisbahkan pada komunikasi dialogis,
komunikasi otentik, komunikasi fasilitatif, komunikasi eksistensial, komunikasi
suportif, komunikasi terapeutik, hubungan cinta kasih, tetapi nondirektif dan
partisipasi. Untuk komunikasi monologis disebutkan atribut-atribut jelek :
defensif, manipulatif, tak-otentik, direktif.
Dengan begitu, riuh rendalah orang
bercerita tentang perlunya dialog disegala bidang. Keluarga yang harmonis
ditandai dengan banyaknya dialog; kecerdasan murid berkembang dalam suasana
dialog. Dunia maju karena dialog diantara berbagai peradaban (kecuali
Huntington yang melihat dunia dari Clash of civilizations).
Seperti biasa: akhirnya kita
tertarik pada dialog sebagai symbol saja. Yang kita lakukan tetap saja monolog,
yang terbungkus dalam kemasan dialog. Ciri-ciri luar dialog kita penuhi,
hakikat terdalam dialog kita jauhi. Semua percakapan secara rahiliah adalah
dialog, tetapi banyaknya percakapan yang sebenarnya adalah monolog.
Seorang bapak yang ngobrol dengan
anak-anaknya, tetapi mereka tidak pernah memperkenankan mereka untuk berbeda pendapat
dengan dia. Seorang pejabat memberikan petunjuk kepada rakyatnya, yang
sekali-kali menjawab pertanyaannya atau memberikan komentar yang mempertegas
persetujuan mereka. Seorang majikan berbincang dengan pelayannya, tetapi yang
diajak berbincang hanya mengucapkan kalimat yang sama: “iye puang”
Semua secara lahiriah berbentuk
dialog, secara hakiki semua adalah monolog.
Yang menentukan apakah percakapan
itu monolog bukan bentuknya, tetapi karakter dan perilaku komunikatornya.
Menurut Marlin Buber, dalam monolog
kita memandang orang lain sebagai objek untuk dimanipulasikan buat kepentingan
diri sendiri, tujuan komunikasi adalah menguasai penerima pesan demi
kepentingan kita. Kita tertarik dengan ikhwal khalayak kita sejauh ikhwal tersebut membantu kita untuk
mendesain pesan yang menaklukkan mereka.
Dalam monolog, kita hanya
memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita, prestise dan
otoritas kita, ungkapan perasaan kita, pertunjukan kekuasaan kita, dan upaya
kita untuk membentuk orang lain dalam citra kita. Walhasil, monolog ditandai
dengan keinginan untuk menyeret, menguasai, mendominasi, mengeksploitasi,
memanipulasi orang yang kita ajak bicara.
Dalam monolog kita berbicara kepada bukan dengan mereka. Dalam klasifikasi Wayne Brockriede, dihadapan massa
selalu ada tiga jenis ahli terotika, dua diantaranya termasuk monolog, walaupun
dilakukan dalam bentuk percakapan timbal-balik.
Pertama,
pemerkosa retoris.
Dia melihat massa berbagai objek, korban atau manusia rendah yang harus
digiring kesasaran yang dia kehendaki. Sikapnya terhadap khalayak adalah
superioritas, dominasi, pemaksaan, kecaman. Yang termasuk ini adalah manusia
yang menganggap masyarakat sebagai kerbau yang harus dicocok hidungnya,
digiring kearah berfikir yang menurutnya adalah yang terbaik.
Kedua,
perayu retoris.
Ia melihat masyarakat sebagai sasaran rayuan maut sikapnya terhadap khalayak
bersifat tidak tulus, mempesona, merayu, dan tak acuh terhadap identitas,
integritas, dan rasionalitas khalayak. Manusia jenis ini menggunakan kerancuan
logis, memutar balikkan fakta, memanfaatkan motif-motif manusia yang rendah,
menjebak dengan analogi. Ia menyeret masyarakat dengan tipuan, pameran
kebaikan, atau iming-iming janji.
Keduanya sama melakukan percakapan
monologis.
Ketiga,
pecinta retoris.
Inilah perilaku dialog. Ia melihat khalayak sebagai mitra. Hubungannya dengan
massa didasarkan pada penghormatan, persamaan, kesiapan untuk mengubah diri,
keterbukaan pada gagasan baru, kesediaan untuk menerima kritik, dan keinginan
tulus untuk memberikan pilihan bebas kepada orang lain. Yang ketiga ini, sayang
sekali, umumnya dilakukan diantara sahabat karib, pecinta, filsuf dan ilmuwan,
serta hampir tak pernah diantara politisi dan pejabat.
Tak percaya? Saksikanlah bila ada
acara sosialisasi oleh Pemkab atau DPRD....... (Aziil Anwar)
Menjadi Racil (Rakyat Kecil) di negeri ini tak pernah lepas dari label buruk. Sudah dicap SDMnya rendah, dikatakan tidak punya mental membangun, hanya memikirkan uang kalau bekerja dan masih banya label buruk lainnya, akhir-akhir ini malah dicap sebagai pihak yang paling miskin, hingga mengalirlah program-program dan kegiatan-kegiatan yang mengatas namakan mereka.
Secara makro hubungan antara Racil dan kemiskinan memang terlihat. Saya melihat kekuatan hubungannya sekedar asosiasi saja, mengingat keduanya memang tidak berkaitan langsung. Perlu disadari, pada tingkat mikro terdapat cukup banyak faktor mengantarai variabel kemiskinan dan sosok rakyat kecil itu sendiri.
Sehingga bisa dikatakan bukan sosok Racil sendiri sebagai satu-satunya yang berpredikat miskin, melainkan bertemunya aneka faktor yang kemudian menimbulkan kemiskinan. Bila dipadukan antara kemiskinan dan model kejahatan, kemiskinan seseorang bisa menjadi pemacu untuk berbuat jahat.
Kemiskinan juga kerap berkombinasi dengan kepadatan, anonimitas, kecenderungan agresif, perilaku vandalitas hingga destruktif. Namun, masih lebih banyak lagi hal yang menjadikan asosiasi itu lemah. Kemiskinan umumnya membawa seseorang kembali ke komunitas sosialnya, yang lalu merupakan faktor penarik (pull factor) bila yang bersangkutan “gatal tangan” alias ingin berbuat kejahatan.
Kemiskinan, khususnya kemiskinan struktural, umumnya dilengkapi dengan sejumlah pola atau gaya hidup, nilai, serta orientasi hidup yang juga amat sederhana, ini membuat kalangannya (Racil) tidak merasa panas hati, menerima apa adanya, saat menghadapi kenyataan tersebut. Mereka yang miskin akan tetap bisa tertawa karena mereka tidak miskin secara sosial.
Jadi siapa sebenarnya yang paling miskin dan berpotensi melakukan kejahatan. Besar kemungkinan, orang-orang yang memiliki salah satu ciri berikut ini : Mereka yang mempersepsikan dirinya semakin miskin (padahal masih tetap kaya dan semakin kaya), yang mengekspektasikan suatu kondisi yang jauh lebih baik dari yang ditemui (padahal sekarangpun sudah lebih baik dibanding dulu), serta yang berusaha mati-matian memanfaatkan peluang sekarang ini guna semakin kaya (memanfaatkan jabatan/pengaruhnya).
Karakteristik tersebut jelas hanya dimiliki kalangan menengah keatas. Sebagai kejahatan kelas menengah (middle-class criminality), motif perilaku semata-mata economic-driven atau pertimbangan pemerolehan ekonomis. Namun tentu saja level, target serta modusnya jauh lebih canggih dibanding mereka yang berbuat jahat hanya untuk makan nanti sore, atau agar anaknya minum sedikit susu.
Disitulah letak bahayanya. Kalangan ini telah fasih, katakanlah melalui praktek pemaksaan pembelian komponen-komponen tertentu dalam Belanja Operasional dan Pemeliharaan serta Belanja Modal, mengutak atik komponen biaya suatu barang ataupun kegiatan tanpa terlihat atau ketahuan, kalangan ini juga sangat tega melakukan berbagai strategi guna menekan pihak lain dengan jabatan dan kekuatannya hingga korbannya tak bisa berkutik, dan menerima dana titipan dari kegiatan yang tidak diusulkan.
Bisa diduga, di atas kondisi negeri ini yang agak membingungkan, justru kalangan ini melihat peluang-peluang tersendiri untuk melakukan kejahatan. Lalu, seiring dilakukannya anggaran kinerja, orang-orang ini toh masih bisa melakukan korupsi “legal”. Dan kalaupun kantor mengusahakan tak ada penambahan inventaris, kalangan ini tetap mempunyai askes guna menimbulkan kebutuhan akan barang tertentu, agar dibeli dan penjualnya ataupun pelaksana pembelian barang tersebut dimintai komisi yang besarnya kadang tak rasional.
Alhasil, kalangan yang strategis ini meiliki potensi kriminogenik entah untuk melakukan kejahatan itu sendiri, untuk membuat orang lain semakin susah, atau sebagai satu-satunya penyebab semakin miskinnya negeri ini (Racil).
Permasalahannya, kenapa yang justru mencuat adalah kekhawatiran terhadap kemiskinan yang ada pada masyarakat bawah (Racil). Karena apalagi alasan yang bisa dijadikan latar belakang dari pengajuan suatu program ataupun kegiatan untuk menghabiskan dana daerah, kalau bukan Racil.
Posisi dan kemampuan kalangan ini memang lebih cocok untuk berbuat kejahatan jabatan, kejahatan profesional, serta kejahatan ekonomi. Maka adalah gambaran yang tak bisa terelakkan, bila hingga tahun 2010 ini, jika kalangan ini tidak merespon early warning yang disinyalkan MATRAMAN, pihak kejaksanaan bakal lebih banyak mengungkap berbagai penyimpangan, katakanlah kasus korupsi, penggelembungan dana, pengelabuan serta pemaksaan komponen-komponen biaya yang menyalahi peraturan yang berlaku. Seandainya pihak Kejaksaan kurang tanggap, pihak KPK bakal kerepotan menerima pengaduan-pengaduan baik dari MATRAMAN maupun masyarakat (Racil).
Rupanya peringatan lisan, peringatan tulisan tidak begitu berpengaruh bagi kalangan ini, mungkin mereka butuh peringatan fisik.